Martina Felesia
Sudah tiga bulan ini aku tidak punya bos.  'Tidak punya' di sini berarti status si bos masih tetap bosku tapi secara kasat mata ia tidak ada di depanku.  Tidak memberi perintah seperti biasanya.  Tidak juga memperdengarkan suara garangnya sedang memarahi para anak buah.  Iya, betul, bosku sudah tiga bulan ini sedang mengambil medical leave akibat penyakit yang dideritanya.  Dokter memvonis dengan penyakit yang aku yakin seribu persen sungguh sangat tidak diharapkannya.  Kanker paru-paru, dengan kesempatan hidup menurut medis hanya enam bulan.  Bayangkan! Hanya enam bulan!

Bagaimana perasaanmu jika ada orang yang berkata kepadamu demikian?  'Umur Anda tinggal enam bulan!' Panik?  Kalut?  Takut?  Cemas?  Sedih?  Pasti sudah carut marut rasa hatimu.  Sama halnya dengan bosku.  Pupus sudah angan2 dan harapan untuk menikmati hari tua dengan tenang bersama anak cucu.  Kecemasan dan ketakutan itu juga yang membuat bosku tampak terlihat lebih kurus dari biasanya.  Sangat kurus malah.  Berat badannya turun drastis.  Bukan karena tidak doyan makan, tapi lebih karena tidak bisa tidur.  Malam2nya selalu dipenuhi mimpi buruk.  Merasa tidak siap untuk mati.  Merasa belum menjadi 'manusia' seutuhnya yang layak masuk surga.  Masih banyak yang ingin dilakukan dan dikerjakan di dunia ini.

Berkaca pada nasib bosku dan kejadian yang menimpa beberapa teman akhir-akhir ini, aku merasa menjadi lebih 'sensi'.  Jika kematian merupakan permulaan suatu kehidupan, mengapa banyak orang yang tidak berani menghadapinya?  Mengapa bagi sebagian orang, kematian menjadi momok tersendiri bahkan menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan?  Bukankah pada saatnya nanti, kapanpun itu, kita semua memang akan mati?  'Kematian datang seperti pencuri!'  Itu betul sekali.  Itu sebabnya Tuhan tidak memberikan kesempatan untuk tawar menawar terlebih dahulu.  Coba kalau diberikan kesempatan.   Bayangkan berapa panjang antrian orang yang mendaftar!

Rekaman beberapa peristiwa yang menimpa beberapa teman akhir2 ini, membuatku jadi lebih bersemangat dalam menjalani hidup.  Lebih meditatif dan komunikatif dengan Tuhan. Lebih bisa memandang hidup dengan kacamata lain menjadi lebih indah.  Minimal aku tidak menjalani hidup melulu berdasarkan penilaian orang secara fisik semata.  Materi yang berlimpah, harta yang menggunung, tidak menjamin seseorang mampu menjalani hidupnya dengan bahagia, bukan?  Keluarga, anak2, orang2 yang mencintai kita itu lebih penting daripada sekedar harta benda yang sewaktu-waktu bisa musnah. 

Jadi ingat dengan seorang teman yang sampai hari ini terus menggugat Tuhan atas kematian putranya.  Sampai detik ini ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia terus menyalahkan Tuhan.  Ia terus berkutat dengan pemikiran bahwa Tuhan sungguh tidak adil.  Bagaimana mungkin Tuhan mengambil nyawa anaknya sementara selama ini ia dengan giat melakukan pelayanan di gereja?  Mengapa bukan anak orang lain saja?  Dan temanku ini benar2 mogok total.  Ia tidak pernah lagi pergi ke gereja dan menggantinya dengan ritual pergi ke kuburan setiap hari.  Padahal peristiwa itu sudah berlangsung satu tahun lebih lamanya.

Temanku ini bisa jadi lupa, bahwa menurut keyakinannya, kematian adalah permulaan hidup yang kekal.  Tanpa disadari atau tidak ia telah menyangkal imannya sendiri.  Bahkan yang lebih parah lagi, ia lupa bahwa masih ada "kehidupan" lain yang butuh untuk diperhatikan dan dicintai.  Masih ada anak yang satunya lagi.  Sementara ia tenggelam dalam penyesalan akan kehendak Tuhan, anaknya  yang masih hidup ia lupakan.  Sekali lagi tanpa disadari, ia telah mematikan jiwa putra yang satunya lagi, dengan melibatkannya untuk terus berkutat dalam kesedihan.  Ia mematikan kehidupan dengan terus menghidupkan yang mati dalam alam pikirannya.  Sungguh tragis dan memiriskan hati.

Semua peristiwa itu, secara tidak langsung menjadi suatu teguran bagiku.  Jika selama ini aku kurang bersyukur untuk segala sesuatu, maka mulai hari ini aku bisa belajar BERSYUKUR untuk apapun yang diberikan Tuhan padaku.  Tidak protes.  Tidak komplain.  Tidak juga berkeluh kesah. Untuk apapun di muka bumi ini, semua ada waktunya.  Untuk apapun yang kita punya, semua adalah anugerah.  Jika Tuhan punya mau, segala sesuatu bisa terjadi.  Bukankah hidup atau mati  kita ini milik Tuhan?

Life is amazing!  Pergunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Setiap detik, setiap menit, setiap jam semua berharga.  Jangan pernah menyia-nyiakan waktu.  Sehingga bila tiba saatnya nanti, kita bisa pulang dengan sesungging senyuman menghiasi wajah kita.

*  Batam, ketika hatiku kebat-kebit memikirkan sakit si Bos yang tak kunjung membaik.
Label:
0 Responses