Showing posts with label Memories. Show all posts
Showing posts with label Memories. Show all posts
Martina Felesia

Beberapa bulan yang lalu kami sempat bertemu.  Janji ketemuan di mall bersama beberapa kawan yang sudah duluan resign dari perusahaan.  Kebetulan ada Eka yang lagi ada tugas di Singapore dan menyempatkan diri untuk mampir ke Batam.  Jadi diaturlah acara dadakan itu.  Telepon beberapa orang yang bisa dan akhirnya terkumpul sekitar delapan orang kala itu.  Ada Pak Cik Irwan Suroso, Pak Harsono, Pak Naga, Dessy, Maria, Ratna, aku, dan Eka tentunya.  Atur tempat yang paling mudah dituju dan kami sempatkan untuk bertemu.

Aku kenal beliau sudah cukup lama.  Menjadi partner kerja selama belasan tahun dalam suka dan duka.  Banyak canda dan tawanya kalau ketemu dia.  Nggak ada pernah serius omongannya.   Pokoknya ada saja yang membuat tertawa.  Terlepas banyak cerita orang tentang dia yang begini begitu, tetapi secara pribadi aku tidak ada masalah dengan beliaunya.   Bagiku beliau adalah kawan yang baik.  Bisa diajak bekerjasama dan tidak segan memberikan bantuan jika dibutuhkan.

Ketemu terakhir saat itu dia terlihat kurus.  Jauh dari perawakannya yang dahulu gempal dan penuh semangat.  Aku tidak menanyakan secara langsung apakah beliau sakit atau tidak.  Tidak etis menurutku.  Tapi dalam hati aku meyakini kalau dia sepertinya sedang sakit.  Hanya saja karena dia seolah tidak seperti orang sakit, akhirnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasa saja.  Kami hanya bercanda-canda, bernostalgia nostalgia, mengingat semua kegilaan yang pernah ada.  Saat itu Pak Naga kebanyakan hanya tersenyum-senyum saja.  Tidak terlalu banyak bicara seperti biasanya.   Hanya menjawab kalau ditanya.  Sisanya hanya mengiyakan apa kata orang sambil menikmati secangkir kopinya kala itu.


Sebelum pulang kami sempatkan untuk foto-foto.  Entah mengapa kusempatkan pula untuk memeluknya.  "Sehat-sehat, ya Pak," ucapku kala itu.  Dia juga membalas dengan kata-kata yang sama. Rupanya itu menjadi pertemuan kami yang terakhir.  Setelah itu kami sibuk dengan kegiatan masing-masing.  Tidak sempat lagi saling berkunjung meskipun tinggal satu kota.  Dan tiba-tiba saja ada kabar dia sudah tiada.  Hari ini tadi, jam 2 dini hari.  

Selamat jalan, Pak Naga.  Usai sudah sakit yang kau derita.  Selamat merayakan lebaran di keabadian.  Perlahan tapi pasti kami juga akan pergi ke sana.  Entah apakah di sana kita masih bisa tertawa-tawa atau tidak, aku juga tidak tahu.  Yang jelas hari ini, kami semua mendoakanmu.

Label: 0 komentar |
Martina Felesia

Sampai sekarang banyak orang yang menyayangkan mengapa aku memutuskan untuk berhenti kerja.  Padahal zaman lagi susah.  Padahal tidak semua orang bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar yang menjadi impian banyak orang seperti aku.  Padahal beberapa tahun lagi pensiun.  Padahal begini, padahal begitu. Aku yang dikomentari hanya ketawa ketiwi.  

Padahal mereka tidak tahu betapa tersiksanya diriku setiap pagi saat harus berangkat kerja.  Stres membuat tubuh menjadi ringkih dan rapuh.  Belum apa-apa sudah lunglai.  Badan rasanya tidak ada tenaga. Mau ngapa-ngapain males.  Terkadang tiba-tiba saja terasa seperti berhenti bernafas.  Sesak sampai ke ulu hati.  Begitu terus setiap hari.  Setiap berangkat kerja selalu takut kalau tiba-tiba terkapar di jalan, pingsan!

Tapi mengapa bisa bertahan sampai sekian puluh tahun kalau nggak betah?  Iya, dulu aku memang selalu excited setiap berangkat kerja.  Itu duluuu.  Sebelum gonti-ganti atasan dan pekerjaanSebelum bertemu banyak setan yang ternyata sedang melakukan penyamaran. Sebelum orang yang awalnya biasa-biasa saja tiba-tiba merasa dirinya cantik seperti Sophia Latjuba😁Intinya adalah, aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk berhenti kerja kala itu.  Dari keputusan itulah aku bisa belajar tentang banyak hal.  Jangan pernah menilai seseorang dari tampilan luar.  Wajah lugu, kata-kata lembut, bukan jaminan seseorang tidak bisa menjadi setan bagi sesamanya.  Terkadang yang lugu-lugu, yang lembut-lembut, itu lebih berbahaya daripada mereka yang penampilannya kayak preman.


Bulan ini adalah tahun kedua peringatan aku menikmati duduk-duduk manis di rumah.  Duduk-duduk manis tanpa perlu bertemu banyak orang.  Bisa bangun sesuka hati tanpa takut depresi.  Bisa menonton film sampai rasanya mau muntah.  Sesekali menghasilkan receh hanya dari rumah.  Berkurang pendapatan, tetapi efeknya luar biasa.  Dompet obat yang dulu kutenteng kemana-mana waktu masih bekerja, sudah kubuang ke tempat sampah.  Tidak ada lagi migrain, apalagi vertigo.  Tidak ada lagi lemes-lemes macam orang tidak pernah makan.  Paramex, Panadol, Salonpas Hot, Freshcare, semua sudah bye-bye dari hidupku.

Jadi bagiku tidak ada kata padahal begini atau begitu, mengapa begini atau begitu.  Setiap orang memiliki kapasitasnya masing-masing dalam menampung suatu masalah dan menyelesaikannya.  Belum tentu yang dilihat baik oleh orang lain itu adalah yang terbaik.  Belum tentu rumput tetangga benar-benar hijau seperti gambaran mata orang yang melihatnya. Jadi menurutku life must go on .  Biarkan anjing menggonggong sesukanya.  Kalau capek nanti pasti berhenti juga 😍 

#celebratingmylife

Label: 0 komentar |
Martina Felesia

Sudah lama tidak update blog.  Sibuk nonton drakor.  Sudah tua pun sok-sokan nonton drakor! Yo ben!  Suka-sukaku sajalah!  Terus kalau sudah tua kamu mau apa?  Mau jadikan aku muda lagi?  Masih untung diriku sudah tua masih bisa nonton drakor.  Belum tentu yang masih muda bisa sampai umur setua aku dan...masih bisa nonton drakor 😁

Aku nonton drakor bukan karena pecinta drakor yang membabi buta terus semua drakor ditonton.  Bukan!  Aku hanya menonton drakor yang menurutku memang bagus.  Sekali lagi menurutku loh ya! Kebanyakan sih yang ceritanya berkaitan dengan kriminal atau kedokteran, sama seperti film-film lain yang kutonton.  Selagi temanya kriminal, detektif, investigasi, kedokteran, hukum, dan semua yang berkaitan dengan itu pasti kutonton.  Jadi nggak semua drakor.  Tema cinta-cintaan pun kutonton kalau memang bagus.  Semakin lama episodenya semakin hepi.   Berseason-season pun akan kulayani πŸ˜‚

Tapi yang paling kusuka itu kalau ada nanya begini,"Bun, masih suka ngeblog?"

"Iya, masih! Kenapa?"

"Sekarang kan zamannya ngevlog.  Bukan  ngeblog lagi.  Sepertinya sudah nggak zaman gitu ya masih pakai acara nulis-nulis."

"Lha gimana lagi, ya kan?  Aku nulis di blog itu bukan karena ingin menyenangkan orang lain.  Aku menulis itu hanya karena ingin menulis.  Ingin menyenangkan diri sendiri.  Itu saja!  Nggak ngaruh apakah sekarang ini zaman vlog kek, apa kek, yang jelas aku hanya ingin menulis.  Orang mau membaca tulisanku monggo.  Nggak ada yang membaca ya nggak masalah.  Nantinya bakalan kubaca sendiri kok!" aku menjawab sambil tertawa.

Jadi ya, begitulah ceritanya mengapa aku terkadang nulis kadang kagak.   Kalau aku berhenti menulis, itu tandanya aku sedang melakukan suatu kegiatan yang lain.  Entah nonton drakor, entah sedang belajar, entah sedang bengong, entah sedang leyeh-leyeh, atau sedang melakukan kegiatan entah lainnya.  Pokoknya adalah.  Tidak semua yang kulakukan harus diceritakan, bukan?  

Jadi beberapa hari ini aku nonton serial The Good Detective Season 2.  Beberapa hari sebelumnya sudah nonton yang Season 1. Ceritanya tentang sekelompok tim detektif  yang harus berurusan dengan kasus pembunuhan di mana tersangkanya semua melibatkan anak konglomerat di Korea.  Satu kasus melibatkan kasus yang lain.  Singkat cerita pemicu dari semuanya ternyata adalah perselingkuhan.  Suami anak konglomerat ini berselingkuh dengan bawahannya di kantor.  Anggaplah sekretarisnya gitu.  Hanya karena sering curhat-curhatan mulailah mereka pergi keluar berdua-dua.  Makan berdua.  Nempel-nempel berdua.  Terus ketahuan!  Terus si istri membunuh selingkuhan suaminya dan akhirnya bertekat menghabisi suaminya sekalian.  Tidak terasa berakhir hingga dua season 😌

Pelajaran yang bisa dipetik adalah, ada banyak cerita yang seperti itu di sekitar kita.  Bos selingkuh dengan bawahan.  Pelakor rasa istri sah.  Penjilat yang butuh banget naik pangkat.  Empati berharap pamrih dan sebagainya.  Jangan bilang segala hal seperti di drakor itu tidak mungkin terjadi di dunia nyata.  Mungkin saja.  Sangat mungkin malah!  Psikopat yang merasa terzolimi pun ada.  Para hipokrit yang berlagak lurus dan lugu tapi palsu.  Manusia-manusia yang sukanya show of force depan umum tetapi nggak mau digunjingin begini begitu.  Ada banyak itu.  Bukan hanya di drakor.  Dan biasanya yang terang-terangan di dunia nyata itu lebih mendrakor dibandingkan drakor aslinya 😁

Puji Tuhan pas hujan deras pagi ini pas sudah selesai nonton episode terakhir.  Bisa dibilang sudah puas.  Meskipun nggak bisa ngopi karena ternyata kopi sedang habis ya nggak apa-apa.  Sekarang waktunya bergerak.  Masak bentar untuk sarapan pagi terus lanjut nyapu ngepel.  Berikutnya ngangkut keranjang cucian baju-baju bersih dan mulai selesaikan urusan setrika.  Time to do housework.  Mau nggak mau.  Suka nggak suka.  Kalau dituruti sih ya milih untuk nggak ngapa-ngapain.  Tapi diam-diam bae juga bisa membuat kepala pusing.  Jadi tetap bergerak itu perlu.  Itu tandanya masih hidup.  Jadi tetaplah bergerak selagi masih hidup.  Kalau sudah mati tidak bakalan bisa ngapa-ngapain lagi.  Hwaiting! Semangat!!

πŸ’“Hujan adalah nyanyi rindu yang tak terbantahkan.

Label: 0 komentar |
Martina Felesia


Aku suka memandangi hujan yang tiba-tiba datang.  Ada semacam perasaan yang terasa syahdu mendayu-dayu, masuk jauh ke dalam relung hati.  Memandang derainya.  Mendengar suaranya.  Merasakan perciknya yang menenangkan.  Meskipun hujan terkadang datang pada saat tidak dibutuhkan, aku tetap saja suka.  Bagiku serintik atau sederas apapun bentuknya, hujan mampu memberikan kesejukan pada hati yang tawar.

Pernahkah kalian merasa sepi di tengah keriuhan?  Atau tiba-tiba merasa sedih tanpa tahu apa yang disedihkan?  Semacam rasa yang tiba-tiba membuat dada terasa sesak dan menyakitkan?  Ingin menangis tapi tak tahu apa yang ditangisi.  Ingin berteriak tapi tak tahu harus meneriakkan apa.  Cobalah sesekali memandang hujan.  Nikmati setiap tetesnya yang jatuh menderai ke bumi.  Pandanglah kilaunya satu persatu dengan tatapan rindu.  Bertanya jawablah dengan diri sendiri.  Maka segala kecemasan dan kegalauan hati akan terobati.

Bagiku memandang hujan selalu menjadi saat-saat spesial.  Saat-saat indah untuk mengenali diri lewat banyak teka teki di balik tabirnya yang menggoda.  Bau tanah basah.  Rumput dan pepohonan yang terlalu kenyang dengan kepuasan.  Genting rumah yang berbunyi tik tok tik tok laksana paduan suara.  Anak-anak yang berlarian mandi hujan dengan wajah bahagia. Hawa dingin dan secangkir kopi sembari memandang curahnya yang tak berkesudahan.  Bagiku, memandang hujan menjadi semacam kontemplasi pribadi antara aku dan Dia.

Hujan memang tak selamanya indah.  Terkadang ia juga bisa jadi kejam.  Bahkan bisa membinasakan tanpa disangka.  Tetapi hujan juga mampu menjadi pengharapan bagi banyak orang.  Ketika gersang dan kekeringan itu datang, ia bisa menjadi satu-satunya harapan.  Meski datangnya kadang menyakitkan, tetapi lebih banyak lagi yang diselamatkan.  Jadi, tetaplah berharap.  Tetap bertahan dalam kegersangan atau pun kelimpahan.

Aku suka memandang hujan.  Menatap diam-diam dari balik jendela sambil berselimutkan tenang.  Aku selalu suka dan akan terus begitu.  Karena dalam rinai hujan dan desau angin yang saling bergandengan tangan, aku selalu bisa menitipkan rindu, pada orang-orang tercinta di manapun mereka berada.

#hujandanakudibulanseptember

Label: 0 komentar |
Martina Felesia

"Mak Tue.....akhirnya doa lu terkabul juga,"seorang kawan lama mantan rekan sekerja menyampaikan sebuah kabar lewat WA.

"Apa?  Si Anu kena serangan jantung?" aku membalas chat sambil membaca Passenger to Frankfurt karya Agatha Christie.

"Kagak...bukan si Anu.  Tapi si Ono!  Orang yang dulu berusaha mindahin lu ke divisi lain supaya nggak ada lagi yang ganggu-ganggu dia waktu deket sama si Ani!" kata kawanku itu sambil ketawa-ketiwi.

"Alhamdulillah Puji Tuhan!" tanpa sadar aku mengucap syukur.  Padahal seharusnya aku kan nggak perlu seantusias itu.  Toh sudah satu setengah tahun aku tidak bekerja lagi dan tidak pernah sedetik pun ingin mengingat-ingat pengalaman buruk selama bekerja sebagai rekan satu divisi.  Bahkan sama si Ani, yang dahulunya dekat banget, aku juga tidak ingin mengingat-ingat namanya lagi. Tapi begitulah.  Yang namanya cerita, kalau disampaikan dari jauh, sedikit banyak akan menularkan rasa penasaran sekaligus suka cita.  Yang namanya ghibah itu memang paling enak kalau ceritanya berkaitan dengan masa lalu.  Nggak percaya?!  Coba saja sendiri!😁

Aku masih ingat bagaimana sikap si Ono dan si Ani ini dulu kepadaku.  Masih hangat-hangatnya zaman pandemi.  Ketika semua orang dilarang duduk berdempet-dempet  tetapi mereka berdua malah duduk mepet-mepet.  Padahal dua-duanya sudah berkeluarga.  Aku yang satu ruang otomatis melihatlah kelakuan mereka berdua.  Nggak mungkinlah nggak lihat kalau hari-hari satu ruangan.  Meskipun pakai masker, tetap tidak bisa dipungkiri bagaimana kelakuan dua orang yang bukan sejoli lagi itu kalau sedang berada di kantor.  Dunia serasa milik berdua.  Yang lain dianggapnya ngontrak.  Ketika aku berusaha menegur si Ani karena merasa sudah over acting, eh, malah dibilangnya aku iri.  Cemburu karena dia dekat sama si Ono.  Macam nggak ngotak kali aku harus cemburu sama dia.  Tapi ya sudahlah!  Sejak saat itu kubiarkkan sajalah.  Suka-suka mereka berdua sajalah!


Akhirnya satu persatu kawan kerja satu ruangan mulai tidak betah dan mengajukan resign. Perlahan tapi pasti aku mulai sendiri.  Ujung-ujungnya bukannya bertobat malah aku yang dipindahkan ke divisi lain sama si Ono dengan alasan yang nggak jelas.  Waktu itu zaman HRDnya masih berwatak feodal kalau nggak salah.  Asalkan dilapori oleh atasan tertentu ya diterima saja.  Nggak ditanya dulu mengapa begini atau begitu.  Yang penting buang-buang orang itu menjadi semacam hobi saja.  Asal atasannya nggak suka ya dibuang sajalah.  Begitulah kira-kira!😁

Ujung-ujungnya aku memang jadi dipindahkan ke divisi lain.  Dan pada akhirnya atasanku ganti si Anu.  Orang super manipulatif dan berwatak penindas.  Hanya satu tahun bekerja di bawahnya dan aku memutuskan untuk segera pensiun dini.  Sebagai antisipasi supaya aku tidak sakit jiwa dan hilang kewarasan.  Takutnya aku khilaf dan tiba-tiba kukemplang mulutnya pakai batu. Aku ini bukan tipe malaikat yang bisa diam saja kalau ditindas. Jadi tanpa pikir panjang lagi aku mengajukan pensiun dini.  Padahal waktu itu bapakku lagi sakit parah dan butuh biaya banyak.  Tapi aku nekat juga untuk pensiun.  Gila kan?! Sedih?  Of course!  Senang?  Of course juga!  Sedih karena harus memutar otak lagi bagaimana cara membiayai pengobatan bapak tanpa perlu merepotkan suami.  Senang karena aku bisa terbebas dari kemungkinan penyakit darah tinggi kalau memutuskan untuk tetap bertahan.

Poto dulu sama nyonyah biarpun durung adus

Jadi ketika aku mendengar kabar bahwa si Ono akhirnya didepak juga dari perusahaan, jujur saja aku bahagia.  Tipe atasan arogan dan tidak tahu diri itu memang sudah seharusnya dibuang jauh-jauh.  Bisa kubayangkan si Ani bakal nangis-nangis bombay karena sudah tidak ada atasan yang selalu mengajaknya makan siang dan keluar berdua-duaan.  Lumayan juga kan kalau diitung-itung penghematannya selama ini karena sering makan gratisan.  Pada akhirnya aku bisa juga tersenyum lebar selebar-lebarnya walau hanya dari jauh.  

Aku tahu bahwa mendendam itu adalah dosa.  Dilarang oleh semua agama.  Tapi aku memang tidak dendam kok. Tidak juga benci.    Aku hanya tidak mau lagi bertemu dengan mereka-mereka yang dahulu memanfaatkan celah bobroknya perusahaan untuk menjatuhkan seseorang.  Aku hanya malas! Jangankan bertemu, membayangkan ketemu tanpa sengaja saja aku ogah.  No Way! Saat ini aku hanya ingin tertawa keras-keras kalau mendengar kabar bahagia.  Hanya ingin menikmati hidup.  Ingin merayakan kemerdekaanku sendiri.  Jadi apakah ini kabar baik atau kabar buruk?  Entahlah!  Terserah dari sudut mana mau dinilai.  Seterah sajalah.....!  Suka-suka kelen ajaπŸ˜‚

Label: 0 komentar |
Martina Felesia

Sudah hampir dua bulan tangan kanan dan kiriku terasa nyeri.  Seperti terkilir.  Atau keseleo mungkin.  Aku juga nggak tahu pasti.  Yang jelas tangan kanan kalau dipakai melakukan aktifitas langsung terasa nyeri  di bagian ungkel-ungkel tengah.  Mau nyapu, mau cuci piring, mau ngepel, semua terassa sakit.  Kalau tangan kiri terasa nyerinya di bagian pundak sampai lengan tengah.  Sebenarnya gejalanya sudah terasa beberapa bulan yang lalu.  Tapi nggak terlalu dirasa karena rasanya belum terlalu sakit.  Ya kubiarkan saja.  Pikirku nanti pasti juga hilang sendiri.

Tapi ternyata semakin ke sini semakin sakit.  Perlahan tapi pasti cucian kering diantar ke laundry untuk disetrika.  Terus nyapu yang biasa tiap hari jadi berkurang menjadi dua hari sekali.  Dan segala pekerjaan rumah yang sebenarnya mudah menjadi pekerjaan yang terasa menyiksa.  Akhirnya memutuskan pergi ke dokter akupuntur.  Siapa tahu hanya kecethit otot.  Biasanya dua tiga kali balik langsung hilang kalau kayak gitu.  Ternyata nggak hilang juga sakitnya.

Perasaan kalau diingat-ingat nggak ada tuh kegiatan yang membuat tanganku harus menderita.  Hanya saja beberapa waktu lalu saat memutuskan pulang kampung naik kapal laut, aku ada bantu-bantu beberapa mamak-mamak tua yang lagi travelling rame-rame bertiga. Barang bawaanku sendiri  sebenarnya nggak banyak.  Minimalis saja.  Tujuannya untuk memudahkan dalam perjalanan sendirian wae itu.  Tetapi pada akhirnya, karena barang bawaan yang nggak banyak tadi, mamak-mamak yang kukenal di kapal malah minta tolong untuk dibantuin membawa barang-barangnya saat turun dari kapal sampai keluar pelabuhan. Padahal porter banyak.  Aku sendiri nggak bisa nolak karena nggak enak.  Ingat sama simbokku di rumah.  Takut kualat!😁

Ternyata ke'tidakenakan'ku waktu itu berbuah pahit sekarang ini.  Tangan yang awalnya cuman nyeri-nyeri sedikit dan kupikir hanya karena kecapekan, sekarang malah nyerinya bertambah parah.  Sebenarnya suami sudah menyarankan untuk pergi ke dokter saraf.  Biar dironsen atau apalah.  Biar tahu sakitnya karena apa.  Tapi aku males pergi waktu membayangkan antrian dokter saraf di rumah sakit seperti apa.  Dulu sudah pernah mengantar Pak DjokoWi di rumah kami soalnya.  Harus bolak balik itu yang bikin capek. 

Alhasil bukannya ke dokter saraf, kemarin malam malah pergi ke tukang urut.   Simbah-simbah yang ngurut.  Selama kurang lebih satu jam  badan yang dasarnya jarang pijat ini dipijat oleh beliaunya.  Lumayan sih pijatannya.  Tapi aku kok tidak merasa sedang dipijat ya karena memijatnya tidak pakai minyak urut.  Jadi kering-keringan saja.  Rasanya aneh.  Pijat tapi nggak pakai minyak urut.  Rasanya antara puas dan nggak puas begitulah πŸ˜‚

POV-nya, Point of View-nya, intinya, janganlah terlalu baikan sama orang yang baru dikenal.  Kalau pun ingin membantu, jangan terlalu excited.  Terlalu bersemangat sampai lupa dengan kondisi badan sendiri.  Mungkin tidak langsung berimbas sakit.  Tapi kalau sudah 'umur lebih' itu seharusnya sudah bisa mengukur kekuatan diri sendirilah.  Percuma saja bawa barang minimalis-minimalis kalau ujung-ujungnya keseleo juga.  Pokoknya pakai gaya bebal sajalah kalau di tempat umum.  Nggak usah terlalu baik karena semua yang serba terlalu itu pada dasarnya adalah sesuatu yang juga tidak baik πŸ’“

Label: 0 komentar |
Martina Felesia


Pagi-pagi dapat WA dari seorang kenalan jauh.  Sepertinya WA yang sudah diforward dan dibagikan berulang kali.  Isinya secara garis besar mengingatkan supaya berhati-hati terhadap bahaya laten PKI.  Kalau tidak membagikan ulang ke orang lain dianggap bagian dari PKI.  Gila nggak sih?  Bahkan yang namanya PKI (Partai Komunis Indonesia) itu sudah nggak ada wujudnya di Indonesia.  Bentuknya kek mana juga nggak tahu.  Partai yang ada saja aku nggak hafal dan juga nggak peduli apalagi yang namanya PKI.  Aneh kalilah!

Yang ngirim WA ini seorang mamak-mamak menjelang tujuh puluhan yang kukenal beberapa waktu lalu di atas kapal laut dalam perjalanan dari Batam ke Jakarta.  Waktu itu aku lagi sedeng-sedengnya pengin jalan sendiri.  Naik kapal laut.  Iseng-iseng pengin backpackeran begitulah.  Dan memang diniatkan seperti itu.  Jadi sudah tahulah kalau sampai Jakarta malam hari harus nginep di mana, terus lanjut naik kereta api ke Jogja dari mana. Semua sudah direncanakan dan dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya.

Di atas kapal itulah aku berkenalan dengan tiga orang mamak-mamak dari Medan yang sedang melancong ke Jawa.  Iya, melancong!  Menghabiskan duit dari anak-anaknya untuk jalan-jalan yang mereka suka.  Rencananya mereka ingin pergi ke Bandung.  Tapi jadinya malah ikut diriku ke Jogja.   Karena mereka terlihat semangat aku berusaha membantu sebisanya.  Meskipun sudah kubilang berkali-kali bahwa aku pun seorang pendatang di Jogja, mereka tidak mau tahu.  Nggak masalah katanya.  Yang penting mereka bisa jalan-jalan di Jogja.  Mau tidak mau jadilah aku tour guide dadakan untuk mereka.  Mulai dari Jakarta sampai Jogja aku yang ngurusi.  Kek mana lagi, ya kan?  Aku seperti sedang melihat ibuku sendiri yang sedang pergi jalan-jalan.  Mau dibiarkan saja takut kualat 😁
Aku dan Suster Suryati SSCC 😍

Singkat cerita setelah sampai Jogja aku lanjut mencarikan mereka tempat menginap di hotel seputaran Maliboro.  Yang penting dekat dengan stasiun biar nggak susah kalau mau melanjutkan perjalanan selanjutnya.  Selain itu dekat-dekat hotel banyak tempat makan murah.  Selama beberapa saat sebelum kembali ke kontrakan, aku sempatkan juga menemani mereka jalan-jalan di sepanjang Malioboro.  Bantu moto-moto dan ambil video.  Yang penting mereka hepilah.  Setelah masing-masing mengeluh capek akhirnya aku pun mengucapkan kata pisah.  Tidak lupa mengingatkan mereka untuk menghubungi pihak travel hotel kalau ingin lanjut jalan-jalan ke sekitar kota Jogja.

Itulah awal mulanya aku kenal Buk Nur dan kawan-kawan.  Kupikir beliau bukan tipe mamak-mamak rasis yang sibuk ngurusi segala macam hal yang menurutku nggak penting ya.  Eh, ternyata pendapatku salah.  Dengan mengirimi aku WA masalah pekaa pekai itu saja langsung membuatku tahu bahwa beliau ini tidak ada beda dengan para mamak-mamak nyinyir dan rasis lainnya di luaran sana.  Mungkin kalau kemarin-kemarin tahu bahwa aku bukan seagama pasti menyesal juga dia menegur dan baik-baik dengan diriku.  Padahal aku memang anti sekali basa basi masalah agama dan plekenikan lainnya itu kalau sedang berada di luaran sana.  Ya buat apa gitu?  

Jadi begini loh Mak Nur.  Nggak usah terlalu ikut ngurusi orang lainlah.  PKI itu sudah nggak ada lagi di Indonesia.  Sudah jelas-jelas dilarang sama negara.  Sudah nggak zaman lagilah ngurusi hal-hal nggak penting seperti itu.  Orang zaman sekarang sudah canggih-canggih.  Banyak-banyak berbuat baik sajalah buk.  Biar bisa masuk surga.  Berbuat baik pun juga jangan pilih-pilih.  Bagaimana pun ceritanya, keindahan itu akan terlihat dalam rupa yang berbeda-beda.  Salam damai, buk.  Maaf, nomor handphone ibu saya blokir.  Soalnya saya sedang dalam proses menjaga kesehatan mental saya dari manusia-manusia sejenis ibuk.  Maaf ya, buk! πŸ’–

#freemyself

Label: 0 komentar |
Martina Felesia

Membuka tanggal merah di hari Rabu dengan bangun pagi-pagi karena pengin masak rica-rica B2.  Meskipun nggak tahu racikan bumbu yang bakal membuatnya enak itu seperti apa tetap saja lanjut.  Malas mau searching-searching lagi.  Yang penting itu ada bawang merah putih, cabe rawit, jahe, merica dan garam.  Masalah bumbu-bumbu tambahan tinggal masukin saja apa yang ada di kulkas.  Kalau kira-kira cocok ya dicampurkan.  Kalau kira-kira nggak cocok ya lewatkan.  Simpel dan gak bikin mumet 😁.

Setelah masakan matang dan menurutku rasanya enak, lanjut lagi dengan menggoreng tempe.  Menghabiskan tepung  dan daun bawang yang tinggal sedikit.  Tambah bumbu tempe goreng instant biar sat-set dan cepat selesai.  Aduk-aduk, goreng.  Selesai!  Dua lauk untuk hari ini tercipta dari tangan mamak-mamak yang nggak bisa masak.  Masalah rasa jangan ditanya.  Lha kan aku pakai bumbu instant.  Kalau nggak enak tinggal komplain sama pabriknya.  Yang penting keinginan untuk masak memasak hari ini sudah terpenuhi.  

Sambil menunggu datangnya peyek yang kupesan dari seorang tetangga jauh, aku masuk kamar lagi.  Hidupin laptop, on-kan Spotify untuk mendengarkan lagu-lagu zaman now dan mulai melakukan beberapa pekerjaan kecil.  Tidak terlalu banyak duitnya, tetapi membuatku hepi karena tidak harus berada dalam tekanan bos sedeng.  Selesai kerja bisa langsung leyeh-leyeh.  Lanjut nonton Grey's Anatomy Season 20 di Disney Hotstar.  Kurang hepi gimana lagi coba?  Duit di dompet memang minus, tetapi jantungku tidak harus dag dig dug lagi tiap hari seperti dahulu kala.

Memperingati Hari Buruh pada saat sudah tidak bekerja lagi itu seperti mengingatkan pada kenangan masa lalu.  Sebenarnya lebih banyak kenangan indah daripada kenangan buruknya.  Hanya saja kenangan buruk yang sangat sedikit itu adalah kenangan yang teramat sangat menyakitkan.  Bukan lagi menjadi buruh, tetapi menjadi budak.  Bukan lagi menjadi karyawan perusahaan besar, tetapi seolah menjadi jongos atasan.  Perbedaan antara kerja profesional dan kerja amatiran hanya setipis tisue.  Pada akhirnya hanya masalah kesehatan mental yang harus kupertahankan.

Dan hari ini, aku merayakan kemerdekaanku sebagai seorang mantan buruh dengan bernyanyi-nyanyi mengikuti alunan lagu di spotify seolah-olah penyanyi pro.  Tidak masalah dengan suara fals dan nada-nada yang kurang pas.   Yang penting  hari ini aku bisa makan enak, bisa nonton film, dan bisa melakukan apa yang kusuka.  Urusan anak-anak di Jogja beres untuk sebulan ke depan meskipun terpisah dari induknya. 

Salam hormatku bagi mereka yang harus tetap bertahan karena keterpaksaan. SELAMAT HARI BURUH, kawan!  Tetaplah bertahan karena kalian adalah pejuang keluarga!  Selagi tidak penyakitan sepertiku bertahanlah!  Karena keluargamu masih butuh makan dan butuh lain-lainnya.  Dapat bos setan? Lupakan!  Pada saatnya nanti akan ada masa-masa indah, di mana kalian akan menikmati hasil jerih payah selama bekerja.  Sekali lagi, selamat merayakan hari di mana masih boleh mengais rezeki dengan berjerih payah.  SEMANGAT! πŸ’“

 

NB:  Semua foto diambil dari Pexels.  Nggak sempat lagi moto-motoin masakan.  Apalagi motoin diri sendiri πŸ˜‚

Label: 0 komentar |
Martina Felesia

Senangnya jadi pengangguran itu ya begini ini:  lebih banyak jalan-jalannya daripada kerjanya.  Dua minggu lalu masih di Jogja, dua minggu berikutnya sudah kongkow-kongkow di Batam bersama kawan-kawan lama mantan teman sekerja.  Judulnya sih keren: Halal Bihalal.  Faktanya isinya cuman becanda-canda dan nggibahin topik lama yang tidak akan pernah ada habisnya sejak zaman dahulu kala.


"Mak Tue, Lu di mana?  Ketemuan kita?!" seorang kawan lama DM via WA.

"Di Batam.  Oke!  Kapan?  Di mana?"

Setelah basa-basi nggak jelas karena sama-sama tahu bahwa basa-basi yang sudah basi itu sungguh tidak perlu, maka jadilah di suatu hari Sabtu siang,  dalam cuaca setengah mendung dan setengah panas, jadi juga kami ketemuan.  Karena yang ketemuan ini kumpulan hampir menjelang lansia, maka sudah pasti ketemuannya di tempat yang adem dan mudah dijangkau oleh semua peserta.

Setelah penat menunggu karena molor satu jam dari waktu yang sudah ditetapkan, akhirnya muncul juga para peserta halal bihalal kali ini.  Biasa ya, jam di Batam itu memang begitu.  Kalau tidak molor sepertinya kurang asoi.  Jadi meskipun sebenarnya bisa datang tepat waktu, tetap saja molor.  Kalau bisa telat kenapa harus on time?  Begitulah kira-kira mottonya.  Satu bapak-bapak yang sudah pensiun dua tahun, dan 5 mamak-mamak biang berisik di mana-mana.  Yang mamak-mamak ini tiga masih bertahan di gelanggang pertempuran dan yang dua (termasuk diriku) sudah menyerah kalah karena bosan berurusan dengan nenek lampir di tempat kerja.  

Begitulah ceritanya kalau sudah ketemu.  Enam orang menuju lansia.  Ngumpul, makan, lanjut ngekek-ngekek sampai sakit perut karena kebanyakan tertawa.  Mungkin bagi sebagian orang tidak penting.  Tapi bagiku, yang setahun ini lepas dari dunia kerja, bertemu dengan kawan lama sungguh membahagiakan.  Meskipun hanya pertemuan kecil dan sederhana tetapi sanggup membawa angin segar.  Bisa tertawa lepas tanpa beban itu sungguh sangat berarti bagi sebagian orang.  Tidak perlu jaim, tidak perlu sungkan, tidak perlu berpura-pura.  


Dan yang paling penting di antara semuanya, jangan lupa foto-foto kalau ketemuan.  Nggak usah kuatir kelihatan seperti aki-aki dan nini-nini ya.  Serahkan semua pada ahlinya.  Selagi masih ada handphone jahatnya Umi Dessy, jangan takut terlihat umur lebih deh.  Kuncinya cuman satu kok:  Smileeee.....dan Cheers....!πŸ˜πŸ˜‚

Hanya kamuflase sesaat. Aslinya sih nggak sebening itu😁


Label: 0 komentar |
Martina Felesia

Setelah memutuskan untuk resign dari pekerjaan beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang sering muncul seperti ini: "Nggak nyesel ya bun berhenti kerja?  Padahal bentar lagi pensiun kok malah resign?" Dan seperti biasa sambil senyum-senyum aku akan kujawab begini: "Secara finansial memang agak menyesal sih.  Kan dari berpenghasilan menjadi tidak berpenghasilan.  Tapi secara keseluruhan aku merasa tambah sehat setelah memutuskan untuk berhenti kerja.  Tidak pernah migrain, tidak pernah vertigo, tidak pernah lagi minum paramex!  Dan yang paling penting adalah bisa keluar dari lingkaran orang-orang toxic dan munafik."


Jadi ingat beberapa tahun yang lalu pernah punya atasan yang sedikit-sedikit nyolot dan ngumpat orang lain dengan sebutan hipokrit.  Munafik.  Padahal ya kalau diingat-ingat julukan itu sepertinya lebih pantas jika disematkan pada dirinya sendiri.  Dengan penampilan yang anteng, smart, alim, tenang, mungkin banyak orang yang berpikir bahwa beliau ini sungguh hebat luar biasa.  Idaman bangetlah.  Padahal kalau diperhatikan betul, di balik kelemahlembutannya itu kata-katanya kebanyakan selalu terdengar menyakitkan.  Halus, tapi menusuk.  Dan setelah beliau keluar dari perusahaan baru tahu bahwa ternyata hidupnyapun  tidaklah sealim penampilannya.  Jadi tidak salah kalau aku berpikir bahwa seharusnya sebutan hipokrit itu disematkan kepada dirinya lebih dahulu sebelum dilemparkan kepada orang lain.

Dari beliau dan dari pengalaman hidup sehari-hari, sedikit demi sedikit aku bisa kenal dan paham bagaimana ciri-ciri orang yang hipokrit alias munafik itu.  Dan dari pengalaman hidup, ternyata hampir di banyak tempat ciri-ciri orang hipokrit ya hampir sama seperti itu. Kebanyakan yang kutahu biasanya berpenampilan alim, anteng, tenang, diam, seolah sedang menunggu waktu untuk menunjukkan wajah aslinya.  Dan beberapa ciri-cirinya adalah seperti berikut di bawah ini:

 

Pura-pura baik: Berhati-hatilah kalau bertemu dengan orang yang terlalu baik.  Apalagi kalau kebaikannya hanyalah pura-pura baik.  Kebanyakan orang hipokrit akan berusaha menampilkan diri sebagai orang yang baik dan saleh di depan orang lain, tetapi sebenarnya mereka memiliki motivasi atau tujuan tersembunyi dari penampilannya itu.  Pokoknya mereka akan berusaha dengan segala macam cara supaya orang lain  melihat mereka sebagai orang baik dan tanpa cacat cela.  Mereka lupa bahwa pada saatnya, semua yang serba pura-pura itu tidak akan pernah bertahan lama.

 

Berbohong dalam kepura-puraan: Orang munafik sering bertindak secara tidak konsisten dengan apa yang mereka yakini hanya untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk mendapat pengakuan dari orang lain.  Mereka akan berusaha untuk tampil maksimal hanya di depan orang yang dianggap bisa memberikan keuntungan.  Konsisten berbohong dalam kepura-puraan.  Kalau ada bos bisa duduk diam depan komputer kletak kletok bekerja non stop delapan jam.  Kalau tidak ada bos entah apa-apa pula yang dikerjakan.  Hanya mereka dan Tuhan sajalah yang tahu.

Dua Wajah: Mereka bisa menampilkan wajah yang berbeda-beda, tergantung siapa yang mereka hadapi dan tergantung siapa yang bisa memberikan keuntungan paling besar.  Secara tidak sadar mereka akan menunjukkan kepura-puraan dan ketidakjujuran dalam berinteraksi sosial.  Baik hanya kepada mereka yang dianggap bisa memberikan nilai lebih dan segera menjaga jarak dengan mereka yang dianggap tidak bisa memberikan kontribusi. 

 

Hipokrisi: Mereka cenderung menilai dan mengkritik orang lain yang dirasa tidak sesuai dengan diri mereka.  Mereka lupa untuk melihat ke dalam diri sendiri sekaligus mengakui kelemahan atau kekurangan diri sendiri.  Dan pada akhirnya ternyata mereka juga berkelakuan sama seperti orang yang sebelumnya mereka kritik dan mereka nilai sebagai bukan orang baik, karena orang hipokrit biasanya cenderung menilai diri sendiri lebih saleh dan lebih baik dari orang lain.  Melarang orang lain melakukan ini itu tapi mereka sendiri melakukan ini itu. 

 

Tidak jujur: Orang munafik seringkali bersikap tidak jujur dalam perilaku dan ucapan mereka.  Mereka lebih sering berpura-pura di hadapan orang lain.  Pura-pura tidak pengin tapi sebenarnya maruk.  Pura-pura tidak terobsesi tapi termimpi-mimpi.  Pura-pura alim tapi sebenarnya pemain.  Di depan orang ngomong A tetapi faktanya ngomong B.  Menurut mereka ketidakjujuran menjadi senjata paling utama untuk mengamankan misi mereka yang sebenarnya.

 

Egois: Mereka cenderung mengutamakan kepentingan dan keinginan pribadi mereka sendiri tanpa mau memikirkan kepentingan orang lain.  Tidak penting orang lain  mendapat nilai jelek yang penting dirinya sendiri harus mendapat nilai baik.  Tidak peduli orang lain dibenci atasan yang penting mereka harus  menjadi orang kepercayaan.  Pokoknya yang terpenting adalah diri mereka saja, bukan orang lain.

 


Semua ciri-ciri di atas memang tidak mewakili ciri-ciri hipokrit secara keseluruhan.  Tetapi berdasarkan pengalaman pribadi, ciri-cirinya memang seperti itu.  Jadi, selalu berhati-hati dalam berinteraksi menurutku sungguh perlu.  Jangan pernah menilai seseorang hanya dari penampilan.  Penampilan bisa menipu.  Karena di zaman sekarang ini, iblis bisa tampil dalam rupa siapa saja.

Label: 0 komentar |