Martina Felesia

Senangnya jadi pengangguran itu ya begini ini:  lebih banyak jalan-jalannya daripada kerjanya.  Dua minggu lalu masih di Jogja, dua minggu berikutnya sudah kongkow-kongkow di Batam bersama kawan-kawan lama mantan teman sekerja.  Judulnya sih keren: Halal Bihalal.  Faktanya isinya cuman becanda-canda dan nggibahin topik lama yang tidak akan pernah ada habisnya sejak zaman dahulu kala.


"Mak Tue, Lu di mana?  Ketemuan kita?!" seorang kawan lama DM via WA.

"Di Batam.  Oke!  Kapan?  Di mana?"

Setelah basa-basi nggak jelas karena sama-sama tahu bahwa basa-basi yang sudah basi itu sungguh tidak perlu, maka jadilah di suatu hari Sabtu siang,  dalam cuaca setengah mendung dan setengah panas, jadi juga kami ketemuan.  Karena yang ketemuan ini kumpulan hampir menjelang lansia, maka sudah pasti ketemuannya di tempat yang adem dan mudah dijangkau oleh semua peserta.

Setelah penat menunggu karena molor satu jam dari waktu yang sudah ditetapkan, akhirnya muncul juga para peserta halal bihalal kali ini.  Biasa ya, jam di Batam itu memang begitu.  Kalau tidak molor sepertinya kurang asoi.  Jadi meskipun sebenarnya bisa datang tepat waktu, tetap saja molor.  Kalau bisa telat kenapa harus on time?  Begitulah kira-kira mottonya.  Satu bapak-bapak yang sudah pensiun dua tahun, dan 5 mamak-mamak biang berisik di mana-mana.  Yang mamak-mamak ini tiga masih bertahan di gelanggang pertempuran dan yang dua (termasuk diriku) sudah menyerah kalah karena bosan berurusan dengan nenek lampir di tempat kerja.  

Begitulah ceritanya kalau sudah ketemu.  Enam orang menuju lansia.  Ngumpul, makan, lanjut ngekek-ngekek sampai sakit perut karena kebanyakan tertawa.  Mungkin bagi sebagian orang tidak penting.  Tapi bagiku, yang setahun ini lepas dari dunia kerja, bertemu dengan kawan lama sungguh membahagiakan.  Meskipun hanya pertemuan kecil dan sederhana tetapi sanggup membawa angin segar.  Bisa tertawa lepas tanpa beban itu sungguh sangat berarti bagi sebagian orang.  Tidak perlu jaim, tidak perlu sungkan, tidak perlu berpura-pura.  


Dan yang paling penting di antara semuanya, jangan lupa foto-foto kalau ketemuan.  Nggak usah kuatir kelihatan seperti aki-aki dan nini-nini ya.  Serahkan semua pada ahlinya.  Selagi masih ada handphone jahatnya Umi Dessy, jangan takut terlihat umur lebih deh.  Kuncinya cuman satu kok:  Smileeee.....dan Cheers....!πŸ˜πŸ˜‚

Hanya kamuflase sesaat. Aslinya sih nggak sebening itu😁


Label: 0 komentar |
Martina Felesia

Tampaknya tidak mudah menjadi tua tanpa galau.  Atau paling tidak menuju tualah.  Seperti aku, dengan usia yang sudah berada di angka lima puluh tahun lebih sikit dan perlahan tapi pasti semakin beranjak naik seperti lagu taman kanak-kanak yang pernah ngetop sepanjang masa.  Sebenarnya sih belum bisa dibilang tua banget ya.  Tapi agak-agak semacam umur lebihlah.  Tapi lebihnya agak banyak gitu. Jadi ya....begitulah! Sudah tua tapi tanggung😁

Jadi galaunya kenapa?  Ya nggak kenapa-kenapa.  Nggak ada angin nggak ada hujan penginnya galau saja.  Padahal internet ada.  Netflix ada.  Cemilan pun ada.  Hanya saja sepertinya menuju tua itu memang ditakdirkan untuk sering-sering menggalau meskipun tanpa tahu apa penyebabnya.  Minimal ada yang dipikirkanlah. Biar tidak pikun. Contohnya seperti memikirkan masa depan anak-anak yang belum jelas.  Sekaligus memikirkan masa depan diri sendiri yang juga tak pasti.  Dan yang paling sering tentu saja memikirkan kapan akan mati.

Pernah nggak sih curhat dan tawar-menawar sama Tuhan seperti ini: "Tuhan nanti kalau suatu saat saya mati, jangan dengan cara yang susah-susah ya.  Yang gampang-gampang saja.  Nggak usah pakai sakit-sakit segala.  Repot!  Sudah ngrepoti yang masih hidup, ngrepoti saya juga karena tidak bisa santai dan leyeh-leyeh dengan damai.  Padahal kan katanya mati itu adalah berpulang dengan damai, seperti yang biasa didaraskan oleh mereka-mereka yang masih hidup."  

Aku pernah.  Sering malah.  Masalah didengarkan atau tidak itu urusannya Tuhan, bukan urusanku.  Jadi meskipun galau, tetapi hati ini tetap menyimpan harapan.  Daripada hanya jadi unek-unek.  Mending disampaikan dengan terus terang.  Ya kan?

Terus apa lagi yang digalaukan selain urusan mati?  Tentu saja urusan badan yang mulai sering pegal linu di mana-mana.  Terlalu lincah dibilang Neli.  Terlalu lamban dibilang Nela.  Tidur agak serampangan posisinya langsung kecethit.  Tidur anteng-anteng saja tidak bisa.  Mau pipi agak chubby sedikit langsung disuruh olah raga sama pak dokter demi antisipasi tensi dan kolesterol yang tinggi.  Padahal kalau agak langsingan pipinya jadi kayak jelangkung kurang makan.  Serba salah pokoknya.  Belum lagi hobi membaca yang harus tertunda-tunda gara-gara urusan mata.  Kalau dulu ratusan halaman bisa lunas dalam satu atau dua hari sekarang butuh waktu berhari-hari.  Capek!

Meskipun begitu, semua tetap harus dinikmati.  Harus dijalani.  Segalau-galaunya hidup, pasti tetap ada sensasinya.  Boleh saja kok galau.  Nggak ada yang melarang.  Semua sah-sah saja.  Yang penting itu tetap sadar diri.  Tetap semangat meskipun  terkadang  raga tidak mendukung.  Dan yang penting lagi tetap harus mencari kegiatan yang menyenangkan.  Jangan sampai Corona sudah selesai tetapi keinginan untuk rebahan tetap tinggi.  Bagiku galau silahkan, patah arang jangan.  Selagi internet jalan, no lelet no padam, dan isi dompet masih ada beberapa lembar warna merah, maka tidak ada artinya menjadi galau πŸ˜‚

Ayo kaum menuju lansia pemuja internet.  Semangat!  Umur lebih bukan halangan untuk bisa bersenang-senang dengan cara kita masing-masing.  Uban dan segala macam pernak-pernik kehidupan akan mengikuti dengan sendirinya.  Segala yang hidup pasti pada saatnya akan mati.  Jadi tidak perlu cemas, tidak perlu risau, karena pada saatnya nanti, semua akan mendapatkan giliran.  Cheers.....!πŸ’—

Label: 0 komentar |
Martina Felesia

Pantai Aleiora Batam - 2020

Anakku tiga orang.  Cewek, cowok, cewek.  Masing-masing 23, 18, dan 16 tahun. Anak pertama mewarisi sifat burukku yang paling sering kulupa: keras kepala!  Anak kedua lebih selow dalam menjalani hidupnya.  Tidak terlalu banyak menuntut.  Yang penting ada internet dan persediaan makanan, maka semua akan baik-baik saja.  Anak ketiga lebih parah lagi.  Selain mewarisi kekeraskepalaan mamaknya dia juga si paling jago komplain dalam segala hal.  Belum bisa diajak bicara secara apa adanya.  Masih sering jadi korban iklan dan media sosial.  Dipikirnya semua yang divideokan orang itu sesuai dengan kenyataan.  Padahal bisa jadi memang betulan, atau hanya sekedar konten saja.  Kadang aku terprovokasi juga sampai ikutan nyinyir.  Tapi sesudah itu kubiarkan saja.  Pada saatnya toh  dia akan bosan juga.

Waktu mereka masih anak-anak aku agak lebih mudah dalam mengatasi kerumitan sebagai orangtua meskipun disambi kerja.  Sekarang ini sepertinya harus lebih ekstra hati-hati dalam menyampaikan berbagai pendapat dan informasi.  Terkadang mereka mengiyakan tanpa banyak tanya karena malas mencari-cari informasi lain lagi.  Tapi lebih sering lagi melontarkan bantahan yang bisa jadi membuat emosi.  Jadi jangan heran kalau di rumah ribut bisa dibilang isinya hanya keributan yang tak berarti.  Ribut, terus ketawa-ketawa.  Begitu terus setiap hari.  Kalau nggak ribut soal berapa banyak waktu yang seharusnya dihabiskan untuk main game, pasti ribut masalah urusan sekolah yang harusnya dikerjakan kemarin-kemarin tapi baru dikerjakan hari ini padahal besoknya harus segera dikumpulkan.  Dan siapa biang ributnya?  Tentu saja mamaknyalah.  Siapa lagi, ya kan?😁

Kepada anak pertama selalu kutekankan: jangan mau kawin muda!  Selagi masih muda, bekerjalah.  Cari duit untuk menyenangkan diri sendiri.  Jalan-jalan ke tempat di mana belum pernah pergi dengan duit sendiri.  Bersenang-senanglah.  Jangan sampai menjadi korban sinetron atau drakor.  Menikah itu mudah.  Yang susah itu bagaimana menjalaninya.  Apalagi kalau dapat suami modelan patriarki yang semua-mua mau dilayani.  Dan belum lagi punya mertua yang merasa bahwa kamu adalah 'pembantu' dari anaknya.  Pokoknya jangan pernah menikah muda.  Menikahlah pada saat kondisi ekonomi dan kejiwaan kedua belah pihak sama-sama siap, tanpa saling membebani.  Menikahlan bukan karena dikejar-kejar pertanyaan dari orang lain 'kapan nikah-kapan nikah', tapi menikahlah pada saat sudah stabil secara finansial, dan sehat secara jasmani maupun rohani.

Kepada anak kedua aku selalu mengatakan: jadi laki-laki jangan kasar, tapi juga jangan cengeng!  Jadilah laki-laki yang sabar dan lembut hati seperti bapakmu.  Karena sepintar-pintarnya dirimu, pada saatnya nanti hanya kesabaran yang akan menyelamatkan hidupmu.  Dari sekarang persiapkan dirimu.  Bukan hanya secara akedemik, tetapi juga secara mental.  Belajarlah melakukan pekerjaan rumah tangga juga.  Menyapu, mengepel, mencuci piring, memasak nasi, dan kalau perlu memasak.  Minimal bisa memasak untuk diri sendiri.  Pekerjaan rumah tangga bukan hanya tugas perempuan saja, tetapi tugas semua orang yang hidup di dalam rumah tangga itu sendiri.  Suatu saat kelak jika sudah berkeluarga sendiri, istrimu akan bangga mempunyai suami seperti kamu, jika tidak pernah memperlakukannya seperti seorang pembantu.  

Kepada anak ketiga aku lebih cerewet lagi:  belajarlah baik-baik dan sungguh-sungguh!  Milikilah cita-cita setinggi langit.  Sekolah dengan baik, supaya bisa bekerja di luar negeri.  Bekerja di luar negeri akan membuat matamu lebih terbuka tentang sebuah dunia yang lebih luas dibandingkan di dalam negeri.  Di sini mendapatkan pekerjaan yang baik butuh perjuangan mati-matian.  Kalau tidak pakai orang dalam sudah pasti susah dapat kerja.  Kalaupun sudah dapat tetap harus pintar-pintar cari muka.  Jadi dari sekarang tetapkan tujuan dalam hidup.  Pergunakan masa muda dengan sebaik-baiknya, karena semuanya tidak akan bisa terulang lagi.

Itu semua adalah harapan kami sebagai orang tua.  Mungkin terkesan berlebihan.  Tetapi menurutku berbicara terus terang lebih baik daripada tidak memberikan informasi dan pemahaman sama sekali.   Jangan pernah membatasi komunikasi dengan anak-anak zaman sekarang.  Sekali kita menghindari komunikasi, maka seterusnya mereka akan menutup diri.  Kalau aku sih berprinsip biarlah mereka mendengar nasihat yang itu-itu saja dari mamak dan bapaknya.  Yang penting mereka masih mau mendengar suara orang tuanya.  Masih mau meminta pendapat bagaimana baiknya kalau begini atau begitu.  Jangan sampai mereka lebih mendengarkan nasihat kawannya daripada orangtuanya,  Itu saja!

Sebagai orangtua aku tidak mau muluk-muluk.  Meskipun campur tangan orang tua itu penting, tetapi pada saatnya nanti anak-anak akan memilih untuk memiliki jalannya masing-masing.  Selagi masih berada di jalan yang lurus, orang tua tugasnya hanya mengikuti.  Bagaimanapun juga mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia dewasa yang akan punya pemikirannya sendiri.  Jadi, tugasku sekarang ini adalah membebaskan diri sendiri supaya lebih bisa menjadi teman bagi anak-anak, dibandingkan menjadi orang tua yang terlalu protektif.  Selagi masuk akal pasti kuiyakan saja.  Asalkan mereka hepi aku pun hepi.  Gitu ae wes.  Simpel!

Label: 0 komentar |
Martina Felesia

Setelah memutuskan untuk resign dari pekerjaan beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang sering muncul seperti ini: "Nggak nyesel ya bun berhenti kerja?  Padahal bentar lagi pensiun kok malah resign?" Dan seperti biasa sambil senyum-senyum aku akan kujawab begini: "Secara finansial memang agak menyesal sih.  Kan dari berpenghasilan menjadi tidak berpenghasilan.  Tapi secara keseluruhan aku merasa tambah sehat setelah memutuskan untuk berhenti kerja.  Tidak pernah migrain, tidak pernah vertigo, tidak pernah lagi minum paramex!  Dan yang paling penting adalah bisa keluar dari lingkaran orang-orang toxic dan munafik."


Jadi ingat beberapa tahun yang lalu pernah punya atasan yang sedikit-sedikit nyolot dan ngumpat orang lain dengan sebutan hipokrit.  Munafik.  Padahal ya kalau diingat-ingat julukan itu sepertinya lebih pantas jika disematkan pada dirinya sendiri.  Dengan penampilan yang anteng, smart, alim, tenang, mungkin banyak orang yang berpikir bahwa beliau ini sungguh hebat luar biasa.  Idaman bangetlah.  Padahal kalau diperhatikan betul, di balik kelemahlembutannya itu kata-katanya kebanyakan selalu terdengar menyakitkan.  Halus, tapi menusuk.  Dan setelah beliau keluar dari perusahaan baru tahu bahwa ternyata hidupnyapun  tidaklah sealim penampilannya.  Jadi tidak salah kalau aku berpikir bahwa seharusnya sebutan hipokrit itu disematkan kepada dirinya lebih dahulu sebelum dilemparkan kepada orang lain.

Dari beliau dan dari pengalaman hidup sehari-hari, sedikit demi sedikit aku bisa kenal dan paham bagaimana ciri-ciri orang yang hipokrit alias munafik itu.  Dan dari pengalaman hidup, ternyata hampir di banyak tempat ciri-ciri orang hipokrit ya hampir sama seperti itu. Kebanyakan yang kutahu biasanya berpenampilan alim, anteng, tenang, diam, seolah sedang menunggu waktu untuk menunjukkan wajah aslinya.  Dan beberapa ciri-cirinya adalah seperti berikut di bawah ini:

 

Pura-pura baik: Berhati-hatilah kalau bertemu dengan orang yang terlalu baik.  Apalagi kalau kebaikannya hanyalah pura-pura baik.  Kebanyakan orang hipokrit akan berusaha menampilkan diri sebagai orang yang baik dan saleh di depan orang lain, tetapi sebenarnya mereka memiliki motivasi atau tujuan tersembunyi dari penampilannya itu.  Pokoknya mereka akan berusaha dengan segala macam cara supaya orang lain  melihat mereka sebagai orang baik dan tanpa cacat cela.  Mereka lupa bahwa pada saatnya, semua yang serba pura-pura itu tidak akan pernah bertahan lama.

 

Berbohong dalam kepura-puraan: Orang munafik sering bertindak secara tidak konsisten dengan apa yang mereka yakini hanya untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk mendapat pengakuan dari orang lain.  Mereka akan berusaha untuk tampil maksimal hanya di depan orang yang dianggap bisa memberikan keuntungan.  Konsisten berbohong dalam kepura-puraan.  Kalau ada bos bisa duduk diam depan komputer kletak kletok bekerja non stop delapan jam.  Kalau tidak ada bos entah apa-apa pula yang dikerjakan.  Hanya mereka dan Tuhan sajalah yang tahu.

 

Dua Wajah: Mereka bisa menampilkan wajah yang berbeda-beda, tergantung siapa yang mereka hadapi dan tergantung siapa yang bisa memberikan keuntungan paling besar.  Secara tidak sadar mereka akan menunjukkan kepura-puraan dan ketidakjujuran dalam berinteraksi sosial.  Baik hanya kepada mereka yang dianggap bisa memberikan nilai lebih dan segera menjaga jarak dengan mereka yang dianggap tidak bisa memberikan kontribusi. 

 

Hipokrisi: Mereka cenderung menilai dan mengkritik orang lain yang dirasa tidak sesuai dengan diri mereka.  Mereka lupa untuk melihat ke dalam diri sendiri sekaligus mengakui kelemahan atau kekurangan diri sendiri.  Dan pada akhirnya ternyata mereka juga berkelakuan sama seperti orang yang sebelumnya mereka kritik dan mereka nilai sebagai bukan orang baik, karena orang hipokrit biasanya cenderung menilai diri sendiri lebih saleh dan lebih baik dari orang lain.  Melarang orang lain melakukan ini itu tapi mereka sendiri melakukan ini itu. 

 

Tidak jujur: Orang munafik seringkali bersikap tidak jujur dalam perilaku dan ucapan mereka.  Mereka lebih sering berpura-pura di hadapan orang lain.  Pura-pura tidak pengin tapi sebenarnya maruk.  Pura-pura tidak terobsesi tapi termimpi-mimpi.  Pura-pura alim tapi sebenarnya pemain.  Di depan orang ngomong A tetapi faktanya ngomong B.  Menurut mereka ketidakjujuran menjadi senjata paling utama untuk mengamankan misi mereka yang sebenarnya.

 

Egois: Mereka cenderung mengutamakan kepentingan dan keinginan pribadi mereka sendiri tanpa mau memikirkan kepentingan orang lain.  Tidak penting orang lain  mendapat nilai jelek yang penting dirinya sendiri harus mendapat nilai baik.  Tidak peduli orang lain dibenci atasan yang penting mereka harus  menjadi orang kepercayaan.  Pokoknya yang terpenting adalah diri mereka saja, bukan orang lain.

 

Semua ciri-ciri di atas memang tidak mewakili ciri-ciri hipokrit secara keseluruhan.  Tetapi berdasarkan pengalaman pribadi, ciri-cirinya memang seperti itu.  Jadi, selalu berhati-hati dalam berinteraksi menurutku sungguh perlu.  Jangan pernah menilai seseorang hanya dari penampilan.  Penampilan bisa menipu.  Karena di zaman sekarang ini, iblis bisa tampil dalam rupa siapa saja.

Label: 0 komentar |
Martina Felesia
 

Salah satu hobiku adalah nonton film bertema kriminal seperti CSI, Law & Order, NCIS, Criminal Minds dan lain-lain.  Kalau tidak bertemakan kriminal pasti bertemakan kedokteran seperti Greys Anatomy, dan lain-lain.  Padahal dari dulu aku nggak ada keinginan untuk jadi pengacara, polisi, detektif, apalagi dokter.  Lihat darah sendiri saja takut, apalagi disuruh ngurusin darah orang lain.  Bisa-bisa pingsan di tempat.  Tetapi kalau nonton film yang berdarah-darah jangan tanya lagi.  Hobi!  Mungkin buat orang lain membosankan, tetapi buatku sangat menyenangkan dan membahagiakan. Barulah drakor menjadi alternative terakhir kalau sudah kehabisan bahan tontonan. 
 
Semenjak TV di rumah sudah tidak ada lagi peminatnya dan terpaksa harus diangkut ke gudang, maka acara nonton akhirnya dialihkan ke Netflix atau Disney Hotstar menggunakan hp atau laptop.   Lebih fleksibel karena bisa diangkut kemana-mana.  Tidak ada tontonan TV lokal lagi.  Yang ada hanya nonton film.  Titik.  Kalau kemarin-kemarin ketika masih kerja harus pintar-pintar cari waktu untuk sekedar bisa nonton, sekarang bebas merdeka mau nonton kapan saja dan di mana saja karena sudah jadi kaum rebahan yang tidak perpenghasilan.  Kere nggak papa dah yang penting bahagia (katanya) πŸ˜‚
 
Dan kali ini, kado spesial di bulan April dari Netflix adalah datangnya beberapa season baru dari serial Law and Order juga NCIS.  Puji Tuhan!  Saat hampir semua pilihan tontonan adalah cinta-cintaan drama korea, akhirnya datang juga serial yang dinanti-nanti.  Lumayan buat hiburan.  Hanya saja semua tontonan ini akan semakin membuatku malas pergi kemana-mana.  Zaman kerja saja aku malas pergi kemana-mana selain pergi ke tempat kerja, apalagi sudah tidak bekerja.  Semakin malaslah!

Jujur saja yang jadi kendala saat nonton sekarang ini cuman satu: mata yang tidak bisa diajak kompromi!  Baru nonton bentar sudah ngantuk.  Padahal yang ditonton masih banyak.  Mungkin faktor U juga sih.  Ya cemana lagi, ya kan?  Nggak mungkinlah kita ini akan muda terus, lincah terus.  Mata pun demikian.  Nggak mungkinlah jernih terus.  Sesuai umur  pasti ada rabun-rabunnya juga dong.  Dulu saja minusnya sudah banyak.  Sekarang memasuki manula ditambah pula dengan plus-plus.  Sudah gitu minus bukannya berkurang malah nambah-nambah pulak.  Gimana nggak ngantukan?
 
Terlepas dari umur yang sudah pasti akan bertambah di tahun ini, yang jelas bulan April akan selalu menjadi bulan yang spesial.  Spesial karena selalu mengingatkan kalau aku itu berzodiak Taurus dengan gambar kepala banteng, meskipun aku nggak ngefans sama partai berkepala banteng.  Kalau ada yang bilang keras kepala memang iya.  Itu fakta.  Tapi sebenarnya Taurus itu kebanyakan punya sifat baik hati, tidak sombong, rajin menabung dan bukan tipe penjilat.  Itu saja sih.  Jadi jangan lupa bahagia bagi para Taurusmen dan Tauruswomen di manapun kalian berada.  Tetaplah hidup!😁
 
#penginngoceh
Label: 0 komentar |
Martina Felesia

"Sejelek-jeleknya suami, istri akan berani pasang badan untuk membelanya di depan keluarga istri.  Tapi sejelek-jeleknya istri, suami belum tentu berani pasang badan membelanya di depan keluarga suami!"  Betul apa betul?  Ya betullah!  Masak nggak?  Mungkin tidak semua seperti itu.  Tapi menurutku pada umumnya ya seperti itu.  Suami otomatis akan menuli dan membuta jika sudah berurusan dengan keluarganya.  Tak apa mendapatkan masalah dengan istri yang penting jangan sampai bermasalah dengan keluarganya.  Dia lupa kalau statusnya itu orang dewasa, bukan anak-anak lagi.

 

Ada satu cerita lucu nih.  Tentu saja ini ceritaku.  Contoh saja sih.  Mungkin ada yang pernah mengalami hal yang sama.  Bukan pengin sambat atau curhat, tetapi sekedar berbagi cerita saja.  Siapa tahu ada yang punya cerita hampir-hampir mirip.   Kalau emang ada berarti kita senasib dong😁

Karena tinggal di tanah rantau, kalau pas pulang ke rumah keluargaku bersama suami, pasti yang ditanya ibuku adalah apa yang ingin dimakan oleh suamiku.  Pengin apa.  Mau dimasakin apa.  Nggak pernah aku ditanya sama ibuku apa mauku.  Semua spesial hanya untuk suami.  Pokoknya menantunya yang paling istimewalah.  Alasannya karena aku tuh kan sudah biasa ngapain saja di rumah.  Menantunya belum tentu.  

Beda lagi kalau pulang ke rumah keluarga suami.  Tetap saja yang spesial di mata keluarganya adalah dia.  Yang ditanya mau makan apa, pengin apa, tetap dia.  Aku, istrinya, alias anak mantu gimana?  Dianggap ngilang dong.  Tidak ada.  Nggak kelihatan.  Invisible.   Jadi tidak pernah ditanya-tanya.  Nggak penting soalnya πŸ˜‚


Untunglah aku tipe anak mantu yang tidak terlalu ambil pusing.  Seperti biasa aku memilih untuk tidak peduli.  Kalau disuruh makan ya makan, kalau tidak ada yang mempersilahkan ya puasa.  Nanti bisa cari makan sendiri pada saat bisa keluar rumah.  Sebisa mungkin menghindari berinteraksi dengan banyak orang.  Sebanyak mungkin berdiam diri di dalam kamar.  Keluar kamar seperlunya saja.  Ya mau ngapain lagi?  Pada saat suami sibuk sendiri dengan keluarganya, aku lebih memilih untuk tidur.  Ngapain terlalu dipikirin?  Malah bikin tensi naik.

Jadi para suami, baca baik-baik ya, biar kalian tahu.  Pada saat kalian sibuk berbincang dengan orangtua, dengan kakak, adek atau siapapun itu tanpa melibatkan istrimu, itu seolah-olah seperti sedang menutupi istrimu dengan terpal supaya tidak kelihatan.  Istrimu yang hanya bisa ngangak-ngangak saja tanpa tahu harus ngapain, itu sebenarnya sedang memendam perasaan yang terasa sangat menyakitkan.  Pada saat orangtua, sanak saudara mengistimewakanmu dengan sajian yang spesial hanya untukmu, itu sebenarnya sedang menorehkan luka di bagian hatinya yang paling dalam.
 
Jangan terlalu bergembira ria dulu kalau melihat istrimu biasa-biasa saja.  Atau wajahnya datar-datar saja.  Bisa jadi dia sedang memendam rasa.  Tengoklah sedikit harga diri istrimu.  Tanyakan perasaannya.  Perlakukan dia dengan istimewa di depan keluargamu, karena di mata keluarganya dia juga spesial sama seperti dirimu.  Sesekali bersikap tegaslah supaya saudaramu juga bisa menghargai istrimu.  Tidak mendramatisir dan tidak manipulatif.  Belajar bijaklah sebagai seorang suami.  Karena bagaimana pun juga, istrimu adalah manusia yang akan terus berada di sisimu sampai saat tua nanti. Bukan mamakmu,  bukan pula saudara-saudaramu.
 
Nah, begitulah ceritanya!  Ini pengalaman pribadi sih.  Kutuliskan biar selalu ingat, bahwa seperfect apapun suamimu, belum tentu seperfect yang kamu mau.  Jadi biarin saja.  Cobalah bahagia dengan caramu sendiri.  Dunia tidak selebar daun kelor.  Kalau tidak bisa bersenang-senang bersama, ya bersenang-senang saja sendiri.  Banyak jalan menuju Roma katanya.  Bisa terbang, bisa berenang.  Jangan menyusahkan diri dengan memikirkan hal-hal yang tidak layak untuk dipikirkan.  Tetap tersenyum.  Tetap semangat seperti biasa, dan biarkan orang lain yang menerka-nerka πŸ’“
Martina Felesia

 


Entah mengapa, di mana-mana aku selalu bertemu dengan orang yang hobinya sambatan ae. Mengeluh thok! Punya duit sambat.  Nggak punya duit apalagi.  Sakit sedikit sambat.  Pas sakit agak banyak lebih-lebih lagi kalau sambat.  Dikasih kerjaan nunda-nunda.  Nggak ada kerjaan semakin mendramatisir sambatnya.  Mau tidak dilihat wong ya sering ketemu.  Dilihat itu membuat mulutku gatal untuk memberikan komentar pedas. 

Jadi begini ya saudara-saudara,  sambat, mengeluh, itu sah-sah saja sebenarnya.  Sesekali dalam hidup ini bolehlah kita sambat, karena hidup ini tidak mungkin lurus-lurus saja, senang-senang sajaTetapi bukan berarti hari-hari kita dipergunakan untuk sambat terus-terusan.  Itu namanya kurang bersyukur.  Tidak menikmati hidup. Waktu yang bisa dipergunakan untuk melakukan hal-hal bermanfaat lainnya malah habis dipakai untuk mengeluhkan banyak hal.  Kesannya tidak bisa menghargai segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini.

Selain sambat, ciri-ciri orang yang tidak bersyukur lainnya adalah mereka tidak pernah merasa puas dengan semua pencapaian yang telah diperoleh. Tidak peduli berapa banyak yang telah mereka capai, mereka merasa tidak puas dan selalu ingin lebih dan lebih lagi.  Selain itu mereka juga cenderung tidak mau menghargai bantuan atau dukungan orang lain.  Seandainya menerima bantuan, mereka akan merasa bahwa itu adalah hak mereka, jadi merasa wajar-wajar saja jika tidak mengucapkan terima kasih.

Orang yang tidak bersyukur cenderung fokus pada kekurangan atau kelemahan dalam hidup daripada melihat hal-hal positif yang ada.  Itu sebabnya mereka selalu merasa tidak bahagia meskipun memiliki segalanya.  Selain itu mereka seringkali tidak peduli, tidak sensitif, dan kurang empati terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain karena terlalu fokus pada ketidakpuasan diri sendiri.  Jika menghadapi tantangan mereka akan memilih untuk bersikap pesimis.  Belum mencoba sudah bilang tidak bisa.  Belum selesai sudah mengeluh tidak sanggup lagi.


Nah itu adalah beberapa ciri orang-orang yang tidak bersyukur, yang patut diketahui.  Jadi jika hari-harimu mulai disibukkan dengan sambat, mengeluh nggak habis-habis, itu tandanya sudah harus mulai instropeksi diri.  Harus mulai banyak-banyak berkaca biar selalu ingat, bahwa selagi hidup, ada banyak hal yang bisa untuk disyukuri.  Selagi masih bernafas, tidak ada yang perlu dikeluhkesahkan.   Jalani hidup dengan penuh keberanian, tanpa harus menyusahkan siapapun dengan keluh kesah yang membosankan.