Martina Felesia
Suatu hari, saat pulang kampung, pagi2 kulihat ibuku sudah menyeduh dua gelas kopi.  Kalau dilihat dari ukurannya sih sudah pasti bukan untuk aku atau suamiku.

"Lho....nggo sopo, Bu?" dengan heran aku bertanya.  Setahuku sudah lama tidak ada yang ngopi2 lagi di rumah semenjak bapakku terkena sakit liver dan aku hengkang ke perantauan.  Jadi buat siapa ibu menyeduh kopi?

"Nggo wong sing biasa ngangkut sampah," jawab ibuku.  Aku dobel heran.  Tukang ngangkut sampah mesti dibikinin kopi?  Sejak kapan?

Dari beberapa tanya jawab ringan pagi itu aku jadi tahu, bahwa ibu2 di kampungku memang sepakat untuk memberikan apresiasi kepada para pengangkut sampah yang ada di kampung secara bergiliran.  Setiap hari ada yang membuatkan mereka kopi.  Ada juga yang menyediakan sarapan pagi berupa nasi pecel maupun gorengan.  Memang tidak seberapa nilainya.  Tapi bagi para pengangkut sampah yang harus memulai pekerjaan sejak dini hari tanpa sempat sarapan, itu merupakan suatu berkah yang sungguh luar biasa.

"Wah..Bu, duwik'e soko endi?" aku bertanya lagi.  Bagaimana bisa para ibu  memberikan pelayanan yang spesial terhadap orang2 yang profesinya masih banyak dipandang sebelah mata itu?  Duitnya dari mana?

"Halah...nggak usah dipikirlah duwik'eNamanya ngasih ya ngasih saja....nggak usah itung-itunganSeikhlasnyaLagipula mesakno wong2 iku......" jawab ibuku sambil tersenyum seperti biasa.  Alamak!  Seikhlasnya?  Kasihan?  Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

Sejujurnya aku tersinggung.  Gaya hidup seperti ibuku dan ibu2 kampung lainnya bisa dibilang sudah pudar dari hidupku.  Rutinitas hidup di tanah rantau sepertinya sudah menggerus sebagian besar hati yang kumiliki.  Keinginan untuk berbagi ada.  Tetapi dengan banyak embel2 di belakangnya.  Nantilah kalau ada uang lebih.  Nantilah kalau ada waktu.  Nantilah kalau memang dibutuhkan, dll....dll.... Sementara ibu2 itu sungguh2 rela berbagi dari kekurangannya.

Hari itu aku belajar satu hal lagi dari ibuku, yaitu pelajaran hidup, tentang bagaimana harus berbagi.  Tentang bagaimana harus memberi tanpa pamrih.  Jika kita ingin membantu orang lain, ya bantu saja.  Tidak perlu memastikan terlebih dahulu dia sukunya apa.  Tidak perlu mendata agamanya apa.  Tidak perlu tahu asalnya dari mana atau dari kelompok apa.  Tidak perlu bertanya serba "jlimet"seolah-olah kita petugas sensus dari negara. 

"Kalau mau ngasih ya ngasih saja...gitu aja kok repot!"
Label:
0 Responses