Martina Felesia
Jadi aku hanya bisa termangu ketika seorang teman yang sedang bermasalah besar dengan suaminya bertanya,"Terus aku harus bagaimana?  Dalam hal ini kurasa sulit memberikan maaf atas apa yang telah dilakukannya padaku!".  Masih terasa nada emosi jiwa dalam suaranya.  Emosi yang sayup2 samar masih beraroma cinta.  Emosi yang menurutku memang patut diluapkan daripada terlalu lama dipendam.

"Aku masih tidak percaya, mengapa ia tega melakukan ini padaku?!  Bagaimana mungkin ini terjadi padaku?!  Seumur hidup aku tidak pernah membayangkan bahwa pasangan hidupku akan melakukan hal demikian.  Sudah main mata dengan perempuan lain, main kasar pula sama istri!"

Aku masih terdiam.  Tambah terdiam melihatnya meneteskan air mata.  Berusaha keras supaya air mata itu tidak jatuh berderai di depanku.   Jujur saja aku tidak tahu harus berkata apa.  Ini murni masalah rumah tangga.  Masalah internal yang tidak semua orang bisa ikut campur di dalamnya.  Hanya saja hatiku tiba2 ikut miris mendengar segala keluh kesahnya.

"Tahukah kamu, lima belas tahun yang lalu, bukan aku yang mengajaknya untuk mau menikah denganku.  Dia yang berusaha keras meyakinkan aku untuk mau menikah dengannya.  Janji2nya terasa manis waktu itu.  Janji2 untuk selalu mencintai dan melindungi.  Janji2 untuk selalu setia dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, dalam sakit dan sehat.   Janji2 untuk melakukan apa saja yang penting aku mau menikah dengannya.  Tapi sekarang....apa buktinya?!"

Aku sibuk mencoret-coret kertas.  Mencoba menggambar sesuatu yang mungkin bisa kugambar.  Tapi tak ada.  Pikiranku pun kosong.  Berlari ke masa lalu di mana aku mengenal kedua pasangan ini sebagai orang baik2 yang kupikir pada waktu itu, perjalanan hidupnya akan lancar2 saja.  Dari segi finansial tidak ada yang kurang.  Lebih dari cukup malah.  Mereka dua orang yang bagiku saling melengkapi.  Yang satu ramai dan gembira selalu.  Yang satu lagi tidak banyak bicara tapi bisa menjadi pendengar yang mengasyikkan.  Jika ternyata perjalanan hidup bisa menjadi sesuatu yang menyedihkan saat ini, aku sungguh tidak menduganya sama sekali. 

"Sekarang aku tidak peduli lagi.  Aku tidak mau peduli!  Mau begini kek, mau begitu, kek, itu bukan urusanku!  Aku hanya ingin bahagia!  Jika ternyata menikah  membuatku menderita, aku menyesal telah menikah.  Tujuan hidupku cuma satu sekarang, anakku, dan masa depanku kelak!"

Tuhan, aku juga bukan manusia sempurna.  Hidupku sendiri juga belum bisa dikatakan baik2 saja.  Tapi dalam hal ini, apa yang harus kukatakan kepada temanku?  Jika aku berada dalam posisinya, mungkin akan lebih parah lagi keadaanya.  Belum tentu aku masih bisa tertawa sementara suamiku bermesra ria dengan perempuan lain.  Belum tentu aku masih bisa berjalan tegak ketika terjadi kekerasan dalam rumah tanggaku.  Diam2 aku bahkan iri pada temanku, mengapa ia bisa setegar itu.

Berjam-jam berlalu setelah mendengarkan curahan hati yang panjang, aku menatapnya.  Aku tidak ganti memberikan "ceramah" panjang lebar tentang bagaimana seharusnya hidup berumah tangga.  Atau menguliahinya tentang hal-hal yang harus dilakukanya sesudah ini semua terjadi.  Aku hanya berusaha menjadi pendengar yang baik.  Berusaha menjadi teman yang baik, "Tidak apa2, mbak!  Semua akan baik2 saja!  Meskipun tidak bisa memberikan maaf saat ini, besok, atau besoknya lagi, pasti akan selalu ada kesempatan untuk itu!"

Tiba2 saja aku merasa, suamiku yang lelet, yang selalu "tar-sok" jika diminta mengerjakan sesuatu, adalah pasangan hidup yang terhebat di dunia.  Tiba2 saja aku merasa, meskipun dari segi finansial kami biasa2 saja, kami adalah keluarga paling tajir sedunia.  Tiba2 saja, mataku terbuka, untuk banyak hal yang "mungkin" belum sempat kusyukuri sampai detik ini.  Tiba2 saja aku merasa, Tuhan telah memberikan yang TERBAIK dalam hidupku.  He is my Salvation!  He has saved my life....!

* renungan pribadi saat hari mendung
Label:
2 Responses

  1. Iya betul...dan itu harus....:))