Martina Felesia

Kalau suatu saat nanti mati, aku ingin dikremasi.  Iya, dikremasi.  Bukan dikramasi😂. Dibakar jadi abu dan kembali menjadi debu.  Terus abunya dilarung di laut.  Di perbatasan antara Batam dan Singapura.  Biar kalau tiba-tiba ingin dolan ke Singapore atau Malaysia tidak terlalu jauh😁.  Nggak perlu dikubur di Temiang.  Nggak perlu ngrepoti keluarga, kawan dan handai taulan untuk melakukan kunjungan.

Menurutku kremasi adalah proses yang paling simpel dalam mengucapkan sayonara kepada yang masih hidup.  Jenazah didoakan dan kemudian dibakar.  Sudah.  Selesai!  Tidak perlu dikubur di dalam tanah.  Tidak perlu meninggalkan jejak berupa batu nisan.  Tidak perlu merepotkan siapapun untuk merawat makam.  Cukuplah dikenangkan hanya dengan doa-doa.  Toh kenangan itu suatu saat juga akan hilang begitu saja.

Suamiku selalu nggrundel kalau aku sudah menyinggung bagaimana aku ingin diperlakukan jika suatu saat nanti tiba-tiba mati.  Dipikirnya aku hanya bercanda.  Padahal aku serius.  Kremasi adalah keinginanku dari dulu.  Kalau kondisiku sehat aku malah ingin mendonasikan seluruh tubuhku.  Entah mata, jantung, liver atau apapun itu.  Meskipun tidak berguna pada saat hidup paling tidak bisa berguna pada saat sudah mati.  Tetapi sepertinya susah karena aku memang tidak bisa dibilang sehat untuk menjadi seorang donatur.  Jadi lupakan saja masalah tentang donasi-donasian.

Apakah dengan dikremasi aku tidak menghargai tubuh sebagai ciptaan Tuhan?  Tidak juga.  Menurutku sama saja.  Dikubur di tanah pun nantinya raga juga akan hancur menjadi tanah.  Bedanya adalah aku memilih proses lebih cepat untuk menjadi debu dan abu.  Aku tetap ingin menjadi manusia merdeka meskipun sudah binasa.  Itu sebabnya aku ingin menuliskannya dari sekarang.  Supaya keluargaku ingat, bahwa keinginanku kalau mati nanti hanya itu.

Apakah dengan memilih dikremasi aku menunjukkan sisi diriku yang egois dan mau menang sendiri?  Menurutku juga tidak.  Malah dengan kremasi aku telah memilih untuk tidak memberikan beban mental kepada anak-anakku nantinya.  Kuburan dan batu nisan hanya akan mengingatkan mereka akan suatu kewajiban untuk menjaga dan merawatnya.  Tidak dirawat takut kualat, dirawat bisa jadi tidak sempat.  Padahal itu hanya makam.  Hanya sekedar batu nisan dan jenasah yang mungkin sudah tidak ada lagi bentuknya.  Bukankah lebih baik kalau mereka selalu mengirimkan doa, di manapun mereka berada?!  Tidak perlu repot-repot mendatangi makam dan menaburkan kembang hanya untuk berkubang dalam kenangan masa lalu. 

Alih-alih hanya berada di satu tempat, aku ingin abuku ditaburkan saja di lautan lepas. Biar kalau panas bisa ikutan menguap ke langit dan menjadi awan.  Terus menjadi hujan.  Biar kesannya romantis gitu ya.  Biar jadi proses pemakaman yang indah.  Meskipun pada saat mati sudah tidak bisa merasakan apa-apa, tidak ada salahnya memimpikan proses pemakaman yang diidam-idamkan.  Terserah orang mau ngomong apa yang jelas aku sudah harus mulai merencanakan dari sekarang.  Karena dalam iman, kematian adalah perrjalanan menuju pulang.

💓Kutuliskan pesan ini saat mendung, sambil mendengarkan lagu melow dari spotify, dan mendoakan seorang kawan yang kemarin malam tiba-tiba berpulang.  Selamat jalan Mas Redy.  Terima kasih atas kebaikanmu selama ini.  Selamat jalan menuju keabadian.  Turut berduka untuk mbak Yudi dan Nadia.

Label:
0 Responses