Sabtu, 19 Maret 2011, jam setengah dua belas malam
"Bu Tin, Pak Sup meninggal!" suara teman kantorku terdengar gemetar di telepon. "Barusan jam sebelas tadi!" ia menyambung lagi.
Aku terbengong. Ikutan gemetar. Hilang sudah rasa kantukku. Bagaimanapun juga aku masih terkaget-kaget mendengar berita menyedihkan itu meskipun sudah tahu bahwa pada akhirnya memang akan seperti itu.
Akhirnya, setelah hampir delapan bulan melewati masa2 sulitnya, bossku dipanggil Tuhan. Kanker paru2 telah menghancurkan seluruh harapannya untuk menikmati masa pensiun yang membahagiakan bersama keluarga.
Minggu, 20 Maret 2011
Pagi2 sekali kami sudah menyeberang ke negara tetangga. Nggak sempat sarapan, nggak sempat bawa bekal, nggak sempat bawa obat2an. Kalau biasanya pagi2 sudah ngopi sekarang hanya sempat menghirup angin laut. Segar sih, tapi tidak mengenyangkan. Malah semakin membuat perut keroncongan.
Sampai di imigrasi Singapore, cerita pertama muncul. Dari 13 orang datang, 3 orang kena "giliran" masuk interogasi. Yang satu bernama Nasrun, dicurigai sebagai teroris (mungkin), karena namanya hanya satu kata. Orang Sing membacanya Nesroun....! Yang satu lagi karena bonek masuk Singapore meskipun tahu passport dah hampir expired. Untung dengan wajah melas bisa menyakinkan petugas imigrasinya ("Mau melayat, Om. Suer!"). Yang satu lagi terlalu "trendi" dalam bergaya. Mirip inang2. Jadi dikira mau daftar TKW. So...tiga orang keong racun ini terpaksa untuk beberapa lama (hampir setengah jam-an) harus berhadapan dengan petugas imigrasi Singapore yang sangar2.
Singkat kata, kami sampai di rumah duka. Pelayat full. Memang betul kata pepatah, Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Bagaimana orang itu hidup bersama dengan orang lain ketika di dunia, dibuktikan dari banyak sedikitnya manusia yang mengantarnya ke pemakaman ketika ia meninggal. Bosku memang hebat. Tidak menyangka kalau temannya sebanyak itu. Kami harus ikutan berjubel di dalam rumah untuk bisa melihat jenasahnya terakhir kali sebelum dikafani dan disholatkan.
Wajah bosku terlihat tenang dan damai. Seperti orang tidur saja. Tidak terlihat lagi raut wajah kesakitan. Semua sudah berlalu. Kulihat hampir semua yang datang meneteskan air mata. Istrinya terlihat lebih tabah. Dengan tegar Ibu menerima salam belasungkawa dari para pelayat yang datang termasuk kami.
Cerita kedua muncul di pemakaman. Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, sampailah kami di pemakaman. Di sana sudah terlihat banyak orang berkumpul dan berdoa di pinggir liang lahat. Lucunya lagi, karena mengira kami datang terlambat, dengan pede-nya kami ikut bergerombol di tepi liang lahat dan ikut berdoa. Ternyata oh ternyata, beberapa saat baru kami sadar bahwa yang sedang kami doakan itu bukan jenasah bosku. Jenasah bosku sendiri baru diturunkan dari keranda ketika kami baru saja sampai. Pantesan nisan kayunya bertulis Afandi. Nah, lho!
Cerita ketiga waktu mau mencari stasiun MRT terdekat. Dari pemakaman, bus mengantar kami kembali ke rumah duka. Dari sana rencananya kami mau naik bus menuju stasiun MRT. Tapi ada seorang kerabat almarhum yang menawarkan diri mengantar ke stasiun MRT terdekat. "Just di belakang building" katanya sambil menunjuk bangunan apartemen di depan kami. Jadi kami iya-kan saja. Dengan bersemangat kami berjalan mengikutinya dengan harapan cepat sampai di stasiun MRT dan bisa secepatnya mengisi perut yang keroncongan dari pagi belum keisi.
Satu menit, dua menit. Sampai setengah jam lewat. Keringat sudah deras mengucur dari dahi kami masing2. Tapi yang namanya MRT terdekat tidak kunjung terlihat. Dua orang manager dan satu orang senior manager yang berada satu tim dengan kami sudah mulai ikutan patah arang (tahu apa nggak sih ini orang?). Langkah kaki yang semula lincah dan bergegas menjadi tak bersemangat dan kehilangan tenaga. Mau tak mau kami mengikuti si penunjuk arah sampai beneran tiba di stasiun MRT yang dimaksud. (Alamak, ini mah bukan dekat atuh....tapi jauh banget......! Tahu gitu kami naik taksi aja dari tadi.....nasib....nasib....!)
Akhirnya setelah sampai di stasiun kami sempatkan mengisi "bahan bakar" dulu. Masing2 memesan sesuai porsi dan menu masing-masing. Waduh....seperti berhari-hari nggak makan pokoknya. Tapi karena sudah terlalu capek kelihatannya jadi asal makan. Yang penting makan dulu. Masalah rasa itu urusan belakang.
Karena terlambat makan dan kecapekan, aku jadi teler. Kepalaku berdenyut-denyut. Sudah gitu tidak ada satupun yang membawa P3K. Celakanya lagi, ferry berikutnya yang kami dapat untuk pulang ke Batam jam enam-an sore. Masih tiga jam lagi harus menunggu. Jadi dengan kepala berdenyut dan kaki "gempor" karena kebanyakan jalan, mau tidak mau kami menghabiskan waktu di Harbour Front. Hanya duduk2 menikmati teh tarik. Sesudah itu muter2 membeli coklat buat anak2. Terpaksa deh oleh2nya hanya sebatas coklat, lha wong budget memang terbatas. Namanya juga berita mendadak.
Hari itu sungguh perjalanan yang paling tidak menyenangkan buatku. Duit cekak, kepala sakit, dan kaki lecet2. Di dalam ferry kupergunakan waktu sebaik-baiknya untuk sejenak bermimpi. Memimpikan kasur. memimpikan makan enak meskipun perutku mual. Hanya saja di atas semua itu aku bersyukur, karena Tuhan masih memberikan kesempatan untuk melihat wajah bosku terakhir kalinya.
"Selamat jalan, Pak. Semoga Bapak nggak menderita lagi. Saya, kami semua anak buah Bapak, mengucapkan terima kasih, karena selama jadi bos, bapak telah mengajarkan kami banyak hal. Kejujuran, kerjasama, kepintaran, dll. Memang Bapak bukan bos yang sempurna. Tapi di antara semua bos yang lain, Bapak termasuk the best. Maafkan kami anak buah yang sering kurang ajar dan suka membantah, tapi mau dapat nilai A terus tiap tahun. Selamat jalan, Pak. Doa kami semua untuk Bapak, supaya Bapak mendapatkan tempat yang terbaik di sisiNya. Amin!"