Beberapa bulan belakangan ini baru terasa kalau bodiku lumayan melar. Tiba2 saja semua baju nggak muat lagi dan ukuran celana sudah mulai mencekik pinggang. Pas ngaca......alamak! Rupanya sudah banyak lemak2 saling bersaing di perut meminta perhatian khusus untuk dihilangkan. Yang bikin "tengsin" itu karena anak2 sibuk ngomentari perut bunda yang mulai terlihat buncit. Si Ayah mah tenang2 saja. Meskipun diam2 kulihat dia cengengesan tetap saja yang keluar dari mulutnya hanyalah : "Ai lop yu!" Gombal banget pokoke.
Sebenarnya sih nggak masalah juga sih badan agak "semok" (seksi dan montok) gini. Yang jadi masalah itu karena baju2 ukuran kecil terpaksa dianggurin saja di lemari. Untung kerja sudah ada jatah seragam, yang sekali lagi, untung diukur pada saat aku sudah mulai terasa sesak nafas. Jadi nggak terlalu mengganggu gerak dan langkahku selama di kantor. Yang terasa menyesakkan dada itu (ceilee....) pas giliran mau agak gaya dikit....eh, yang muat ternyata hanya baju seukuran kaos oblong. Terpaksa hanya gigit jari depan almari. Ngoblong lagi...ngoblong lagi!
Sebenarnya sih nggak masalah juga sih badan agak "semok" (seksi dan montok) gini. Yang jadi masalah itu karena baju2 ukuran kecil terpaksa dianggurin saja di lemari. Untung kerja sudah ada jatah seragam, yang sekali lagi, untung diukur pada saat aku sudah mulai terasa sesak nafas. Jadi nggak terlalu mengganggu gerak dan langkahku selama di kantor. Yang terasa menyesakkan dada itu (ceilee....) pas giliran mau agak gaya dikit....eh, yang muat ternyata hanya baju seukuran kaos oblong. Terpaksa hanya gigit jari depan almari. Ngoblong lagi...ngoblong lagi!
Sebagai informasi, lemak2 ini sepertinya susah diajak berkompromi jika sudah melekat pada manusia2 berusia kepala empat seperti aku ini. Mau berolahraga terlalu ekstrim takut kesleo....mau diet yang di atas ekstrim takut cepet koit. Terpaksa yang ada hanyalah berusaha menahan nafsu supaya asupan makanan yang masuk bisa mengurangi lemak dan tidak malah menambah lemak. Apapun makanannya yang penting sehat.
Berkiblat pada pemikiran bahwa hidup harus terus berlanjut, maka pemikiran2 negatif tentang badan yang melar berusaha untuk kubuang jauh2. Memangnya nggak bisa bahagia jika badan melar? Buktinya aku masih bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Bukankah kebahagiaan tidak diukur dari bentuk badan seseorang, apakah dia kurus, gemuk, tinggi, pendek, langsing atau semok seperti aku ini? Bukankah kebahagiaan hanya bisa dirasakan dengan menjalani hidup apa adanya, tanpa polesan, tanpa topeng, tanpa kepura-puraan.
Ngurusi tiga anak yang tidak bisa duduk diam bagiku adalah kebahagiaan yang tak tergantikan dengan apapun juga. Meskipun di luarnya aku terlihat galak melebihi satpam beneran, tapi sejatinya aku menikmati peran sebagai ibu dari anak2ku. Nggak masalah meskipun anak2 sering ngomentari perut buncitku. Yang penting mereka mencintaiku seperti aku mencintai mereka. Nggak masalah suamiku ketawa-ketiwi setiap melihatku berdiri manyun di depan kaca. Yang penting dia mencintaiku tak peduli aku semok atau tidak. Bunda yang selalu tersenyum dan tidak penah bosan tertawa meskipun semok, lebih penting daripada bunda yang langsing tapi banyak marah.
So, semok.....siapa takut?