Seseorang berkata kepadaku mengenai integritas. Bagaimana menjadi seorang karyawan yang berintegritas di perusahaan. Bagaimana seorang karyawan harus bersikap di perusahaan.. Intinya bahwa semua permasalahan di dalam suatu perusahaan itu tergantung kepada karyawannya.
Aku menatapnya. " Serius nih, Bro? Jadi menurut kamu, siapa yang seharusnya berintegritas dalam suatu perusahaan? Karyawan saja? Atasan saja? Atau semuanya?"
Dan beliau ganti menatapku. Bingung mungkin. Ternyata ada juga manusia yang memberikan 'bantahan'.
Menurut mbah Google, yang dimaksud Integritas adalah, suatu konsep berkaitan
dengan konsistensi dalam tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode,
ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi dan berbagai hal
yang dihasilkan. Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur
dan memiliki karakter kuat. Itu kata mbah Google loh.
Kembali kepada integritas di perusahaan. Menurutku, pelaku integritas pertama kali haruslah berasal dari atasan. Mengapa? Karena atasan adalah tempat di mana seorang karyawan memandang ke atas. Melihatnya sebagai suri tauladan. Sebagai panutan. Bagaimana mungkin seorang karyawan bisa meneladan atasan jika sang atasan itu sendiri tidak mampu dan tidak bisa menjadi teladan dan panutan?
Ada satu masa ketika aku mendapat surat teguran (yang sampai hari ini tidak pernah kuterima), hanya karena melakukan kesalahan kecil, yang belum pernah terjadi selama aku bekerja bertahun-tahun. Sebuah kesalahan kecil, tetapi menurut orang lain itu adalah kesalahan. Dan, ya, aku terima, meskipun dengan amat sangat tidak ikhlas dan tidak rela. Tapi aku merasa, bahwa di situlah letak integritasku sebagai seorang manusia. Manusia yang bertanggungjawab adalah manusia yang berintegritas.
Hanya saja cenderung lucu ketika yang namanya 'integritas' itu dipertanyakan dan dianjurkan oleh orang-orang yang 'menganggap' bahwa mereka adalah manusia2 berintegritas. Secara teori mereka memang canggih. Tetapi faktanya adalah lelucon semata. Manusia2 munafik ini, lalu lalang di seputar hidupku dan bersikap seolah-olah orang lain itu buta dan tidak tahu apa-apa.
"Don't judge the book from the cover!"
Iya. Aku setuju banget. Jangan mudah percaya kepada seseorang dari penampilan saja. Penampilan bisa menipu. Bisa membutakan. Tidak semua yang berpenampilan lembut, ramah, sopan dan 'relijiyes' itu benar2 seperti tampilannya. Tidak semua. Ada banyak contoh kasus di mana penampilan2 itu hanyalah penutup setiap kebobrokan yang telah dilakukan. Apalagi kalau kebobrokan itu dilakukan oleh orang2 yang mengaku berintegritas tadi, yang terus menyuruh-nyuruh orang lain untuk berintegritas. Haduh......lucu bingits ya........
Jadi, jawabanku adalah:
"Begini loh, Pak. Bukan saya tidak mau menjadi orang yang berintegritas. Dalam hal ini, karyawan yang berintegritas. Saya mau, Pak. Suer! Tapi kalau contoh2 yang dari atas saja membuat saya mau muntah, bagaimana saya bisa berintegritas sebagai karyawan? Coba Bapak lihat, sekarang ini, semua orang bisa dengan terang-terangan melakukan kegiatan tidak senonoh di lingkungan kantor. Perbuatan yang jelas2 menghinakan harkat dan martabat sebagai manusia, tapi masih juga dilakukan terang-terangan. Mengapa? Karena atasannya memberikan contoh demikian. Dan anehnya, tidak ada seorang pun yang berani komentar. Mengapa? Karena kalau berani komentar, nanti ada yang 'baper', terus azas manfaat, dan akhirnya mem'black list' yang komen melalui teman tidak senonohnya tadi. Ini kenyataan, Pak. Jadi, adalah tidak etis jika manusia2 hipokrit ini menuntut itegritas kepada karyawan. Mereka harus belajar terlebih dahulu untuk menjadi manusia2 yang berintegritas, baru memberikan perintah yang sama kepada bawahannya. Itu baru adil namanya!"
Dan seseorang tadi, langsung terdiam. entah karena dia masuk dalam golongan manusia2 hipokrit tadi, atau masuk dalam golongan manusia2 berintegritas. Hanya Tuhan dan dia yang tahu.
#renungan siang - Rabu 30 Nopember 2016
Adven Pertama