Belakangan ini adalah hari yang sibuk. Sibuk menjadi super emak. Sibuk menjadi bagian dari anggota masyarakat. Sibuk menjadi diri sendiri. Sibuk bermedia sosial. Sibuk menjadi orang yang tetap waras. Sibuk men'delete' para psikopat dan para rasis dari akun FB. Sibuk menjadi orang yang gembira.
Tercenung aku memandang dunia. Tempat di mana aku dulu merasa indah dan mendapatkan banyak warna. Tempat di mana aku dan teman masa kecil bisa menjadi manusia apa adanya. Tanpa sekat2. Tanpa kotak2. Semuanya mengalir begitu saja. Tak ada kata kafir atau non kafir, seperti yang sering kudengar akhir2 ini.
Tiba2 aku kangen Sri. Teman kampung di mana kami saling bergantung. Dia seorang muslim yang taat. Tapi tidak pernah sepatah kata pun ia menyebutku kafir. Kami bahkan sudah seperti saudara. Saling membantu tanpa disuruh. Saling menjaga tanpa diminta. Tak ada sekat2. Dan kami tetap menjadi anak2 yang bahagia.
Aku heran saja, di dunia yang katanya serba modern dan canggih, ternyata masih banyak kutemukan manusia yang rasis. Manusia yang dengan gampang mencaci maki sesamanya atas nama Tuhan. Manusia yang dengan gampang merendahkan orang lain, seolah-olah mereka sudah jauh lebih baik dari manusia lainnya. Manusia yang berteriak-teriak atas nama Tuhan, tetapi mengkafir-kafirkan ciptaan Tuhan. Adakah mereka sungguh mencintai Tuhan? Dalam hal ini aku adalah orang yang gagal paham.
Aku heran saja, di dunia yang katanya serba modern dan canggih, ternyata masih banyak kutemukan manusia yang rasis. Manusia yang dengan gampang mencaci maki sesamanya atas nama Tuhan. Manusia yang dengan gampang merendahkan orang lain, seolah-olah mereka sudah jauh lebih baik dari manusia lainnya. Manusia yang berteriak-teriak atas nama Tuhan, tetapi mengkafir-kafirkan ciptaan Tuhan. Adakah mereka sungguh mencintai Tuhan? Dalam hal ini aku adalah orang yang gagal paham.
Simbah, tiba2 saja aku juga kangen dirimu. Seandainya engkau masih hidup, terus mendengar ceramah2 provokatif, apakah engkau juga akan menganggap kami kafir? Engkau yang dengan tenang dan tanpa amarah, menerima pengakuan Bapak yang sudah dibabtis menjadi Kristen. Engkau tidak marah karena alasan Bapak waktu itu sangat masuk akal: "Aku sudah menemukan jalanku sendiri,Pak!" Bagimu, menjadi manusia yang lebih baik itu adalah yang utama. Engkau berharap Bapak menjadi manusia yang lebih baik dengan pilihan barunya.
Simbah, engkau adalah salah satu contoh toleransi yang sesungguhnya. Engkau tetap menjadikan rumah anakmu yang 'kafir' sebagai tempat dirimu singgah. Tempat di mana engkau sering membagi wejangan dan melantunkan doa-doa. "Yang berhak menghakimi hanyalah Allah!" itu selalu jawabmu. Jawaban sederhana dari seorang yang begitu akrab dengan Tuhannya. Ah, Simbah, andai saja waktu bisa diputar ulang.....
Aku kembali termangu. Mencoba memahami lagi meskipun berkali-kali gagal. Meskipun demikian, aku percaya, masih banyak kebaikan yang bertebaran di luar sana. Masih banyak manusia yang lebih mengutamakan kasih daripada kebencian. Masih banyak manusia yang ingin terlepas dari pengkotak-kotakan apapun sebutannya. Masih banyak manusia yang ingin menciptakan dunia yang damai tanpa perang. Intinya, masih banyak manusia yang waras!
Aku kembali termangu. Mencoba memahami lagi meskipun berkali-kali gagal. Meskipun demikian, aku percaya, masih banyak kebaikan yang bertebaran di luar sana. Masih banyak manusia yang lebih mengutamakan kasih daripada kebencian. Masih banyak manusia yang ingin terlepas dari pengkotak-kotakan apapun sebutannya. Masih banyak manusia yang ingin menciptakan dunia yang damai tanpa perang. Intinya, masih banyak manusia yang waras!
#Doaku untuk para korban bom bunuh diri, yang terjadi di berbagai belahan dunia, di mana pelakunya adalah perempuan dan anak2.
#Doaku untuk mereka, yang secara langsung atau tidak langsung, men'stempel'ku dengan sebutan kafir.
#Doaku untuk mereka, yang tetap berusaha menjadi manusia dalam kemanusiaannya.