Sejak masuk rumah sakit Paska lalu dan didiagnosa leukemia
stadium tiga, bapak terlihat bertambah kurus dan rapuh. Di usia ke-76 yang seharusnya beliau
menghabiskan sisa hidupnya dengan bahagia, ternyata malah harus dijalani dengan
penuh derita dan kesakitan. Memang
sekarang ini sudah tidak perlu rawat inap di rumah sakit. Tapi berkali-kali harus menjalani kontrol dan
kemoterapi di rumah sakit, kurasa itu sudah sangat menghancurkan jiwa raganya.
“Bapak kena kanker”.
Pertama mendengar kabar itu badanku tiba-tiba terasa lunglai. Perutku mual dan mulas secara bersamaan. Mendengar kata kanker saja aku sudah
paranoid. Apalagi mendengar bahwa
bapakku yang terkena penyakit mengerikan itu.
Tiba-tiba saja aku ingin menangis sambil gulung-gulung. Semua terasa serba mendadak. Serba menyedihkan. Belum rampung urusan segala sesuatu harus dilakukan
di rumah saja ini, masih ditambah lagi dengan kabar berita yang sungguh
menyayatkan hati.
Terbayang sudah bagaimana menderitanya bapakku nanti. Efek kemoterapi, usia yang tak lagi muda dan
kondisi di rumah yang sungguh tidak mendukung sudah membuatku panik
kemana-mana. Seharusnya bapak tinggal
duduk ongkang-ongkang kaki di masa tuanya.
Tidak perlu menderita apa-apa lagi.
Membayangkan saja aku sudah tidak sanggup. Sama tidak sanggupnya untuk sekedar melakukan
video call dan menatap wajahnya. Tidak
tega rasanya menatap tubuhnya yang semakin ringkih dan berkurang berat
tubuhnya.
Memandang kondisinya saja walau hanya lewat foto sudah
membuatku meleleh. Apalagi berbincang
padanya dalam kondisi seperti itu.
Walaupun tidak ada seorangpun yang memberitahu tentang sakitnya, tapi
aku yakin beliau merasakan sesuatu yang tidak beres. Berat badan yang semakin turun, intensitas ke
rumah sakit yang tidak juga berkurang, dan nasehat dokter yang berkepanjangan
untuk menjaga kesehatan dengan banyak makan, minum obat dan tidak berpikir
macam-macam. Aku yakin bapak pasti bisa
merasakan.
Dalam sisa masa tuanya, aku berharap semoga Bapak merasa
bahagia. Tidak sakit-sakitan. Tidak terlalu banyak pikiran. Yang penting bahagia saja, otomatis juga akan
membuatku bahagia. Tapi kenyataan
berkata lain. Ah, ya, sudahlah. Mungkin ini memang sudah jalannya harus
demikian. Bagaimanapun aku hanya bisa
ikhlas dan berpasrah. Menyerahkan
segalanya dalam Penyelenggaraan tangan Tuhan.