Martina Felesia
Sejak masuk rumah sakit Paska lalu dan didiagnosa leukemia stadium tiga, bapak terlihat bertambah kurus dan rapuh.  Di usia ke-76 yang seharusnya beliau menghabiskan sisa hidupnya dengan bahagia, ternyata malah harus dijalani dengan penuh derita dan kesakitan.  Memang sekarang ini sudah tidak perlu rawat inap di rumah sakit.  Tapi berkali-kali harus menjalani kontrol dan kemoterapi di rumah sakit, kurasa itu sudah sangat menghancurkan jiwa raganya.

“Bapak kena kanker”.  Pertama mendengar kabar itu badanku tiba-tiba terasa lunglai.  Perutku mual dan mulas secara bersamaan.  Mendengar kata kanker saja aku sudah paranoid.  Apalagi mendengar bahwa bapakku yang terkena penyakit mengerikan itu.  Tiba-tiba saja aku ingin menangis sambil gulung-gulung.  Semua terasa serba mendadak.  Serba menyedihkan.  Belum rampung urusan segala sesuatu harus dilakukan di rumah saja ini, masih ditambah lagi dengan kabar berita yang sungguh menyayatkan hati.

Terbayang sudah bagaimana menderitanya bapakku nanti.  Efek kemoterapi, usia yang tak lagi muda dan kondisi di rumah yang sungguh tidak mendukung sudah membuatku panik kemana-mana.  Seharusnya bapak tinggal duduk ongkang-ongkang kaki di masa tuanya.  Tidak perlu menderita apa-apa lagi.  Membayangkan saja aku sudah tidak sanggup.  Sama tidak sanggupnya untuk sekedar melakukan video call dan menatap wajahnya.  Tidak tega rasanya menatap tubuhnya yang semakin ringkih dan berkurang berat tubuhnya. 

Memandang kondisinya saja walau hanya lewat foto sudah membuatku meleleh.  Apalagi berbincang padanya dalam kondisi seperti itu.  Walaupun tidak ada seorangpun yang memberitahu tentang sakitnya, tapi aku yakin beliau merasakan sesuatu yang tidak beres.  Berat badan yang semakin turun, intensitas ke rumah sakit yang tidak juga berkurang, dan nasehat dokter yang berkepanjangan untuk menjaga kesehatan dengan banyak makan, minum obat dan tidak berpikir macam-macam.  Aku yakin bapak pasti bisa merasakan.

Dalam sisa masa tuanya, aku berharap semoga Bapak merasa bahagia.  Tidak sakit-sakitan.  Tidak terlalu banyak pikiran.  Yang penting bahagia saja, otomatis juga akan membuatku bahagia.  Tapi kenyataan berkata lain.  Ah, ya, sudahlah.  Mungkin ini memang sudah jalannya harus demikian.  Bagaimanapun aku hanya bisa ikhlas dan berpasrah.  Menyerahkan segalanya dalam Penyelenggaraan tangan Tuhan.

#sehatyaPak
Label:
0 Responses