Memasak bagi saya adalah suatu keribetan tersendiri dalam hidup. Tidak pernah terlintas dalam pikiran, bahwa suatu hari kelak, saya harus bisa memasak, minimal untuk bertahan dari rasa lapar. Waktu masih jomblo, saya lebih suka menumpang makan pada teman. Saya tinggal kasih uang dan tinggal ikutan makan, selagi masakannya sesuai selera. Di luar itu saya lebih suka menghabiskan uang untuk beli makan di warung atau kalau seandainya terpaksa, saya masak sendiri dengan cara yang instan, alias masak Indomie doang.
Sejak menikah, memasak masih juga bukan menjadi suatu keharusan. Bagi suami, saya bisa memasak atau tidak, mau memasak atau tidak, itu bukan masalah besar. Kami berdua, karena sama-sama bekerja, lebih memilih untuk makan di luar saat dibutuhkan. Lebih praktis dan lebih fleksibel, karena tidak perlu untuk memikirkan bahan baku dan cara memasaknya, di saat kami sudah terlalu lelah sepulang kerja. Hanya saja di hari Minggu, saya terkadang belajar membuat masakan seadanya, sesuai dengan bahan baku dan bumbu yang tersedia.
Setelah punya anak, saya paksakan diri untuk memasak, terutama memasak untuk anak-anak. Suami tetap pada pendiriannya, untuk tidak memaksa saya agar pandai memasak. Yang penting anak-anak harus makan, bagaimanapun caranya. Mau masak sendiri kek, mau beli kek, yang penting jangan sampai ada yang kelaparan. Semua berjalan begitu saja dari anak-anak bayi sampai mereka sekolah.
Sekarang ini, dari keterpaksaan, akhirnya menuju kepada suatu kewajiban. Wajib masak. Anak-anak harus membawa bekal ke sekolah. Dan saya tidak harus merasakan ribetnya memilih makanan kalau pas makan di luar. Kalau makan di luar kelamaan mikir. Mau makan saja harus mikir dulu. Kalau masak sendiri, saya tidak perlu pikir-pikir panjang lagi. Mau enak mau nggak enak, ya pasti terasa enak. Wong cuman itu adanya. Anak-anak pun senang, karena mereka juga tidak bingung harus memilih menu di kantin yang bermacam-macam. Setelah bingung ujung-ujungnya pasti pesan mie goreng, atau nasi goreng. Back to basic lagi.
Dalam memasak saya tidak selalu ikut pakem. Panduan saya yang penting ada bahan yang dimasak, dan ada bumbu untuk memasak. Terus terang saya tidak terlalu pusing dengan yang namanya bumbu-bumbu tersebut. Selagi ada yang namanya bawang merah, bawang putih, cabai, tomat dan garam, semua bisa dibuat. Saya bahkan jarang menggunakan yang namanya lengkuas, kemiri dan teman-temannya itu. Terkadang jika tidak ada pun bagi saya tidak masalah. Masakan tetap bisa dibuat tanpa mereka.
Berdasarkan pengalaman masak memasak yang saya miliki, ternyata bereksperimen itu terkadang juga diperlukan. Jangan takut untuk mencoba sesuatu yang baru. Dengan mencoba, kita akan tahu bahwa yang kemarin rasanya tidak enak, dan sekarang rasanya lumayan enak. Atau jika masih terasa tidak enak, kita bisa mencobanya berulang kali sampai semuanya terasa enak. Pengalaman menjadikan seseorang menjadi lebih bijak. Meskipun melelahkan, menikmati hasil jerih payah sendiri itu berjuta rasanya.
Meskipun demikian, bagi saya memasak tetaplah menjadi suatu keribetan yang sadar atau tidak sering saya hindari. Kalau bisa janganlah saya disuruh memasak. Tapi dengan alasan demi anak-anak, ya memang harus saya jalani. Apalagi di masa pandemi ini, di mana anak-anak harus stay at home dan saya sebagai pekerja disarankan untuk membawa bekal dari rumah. Mau tidak mau saya harus memasak. Selain lebih higienis, juga lebih praktis karena tidak perlu pusing untuk memikirkan akan makan di mana.
Semoga di hari-hari mendatang, saya masih tetap bersemangat, dalam upaya mengakali pandemi ini, di mana saya harus bangun pagi-pagi di hari Minggu, untuk belanja di pasar pagi. Demi menghindari kerumunan, demi terhindar dari penularan. Dan semoga, saya masih tetap semangat untuk bangun pagi setiap hari, menyiapkan makanan untuk anak-anak, supaya mereka tidak kelaparan ketika saya tinggal bekerja. Lebih penting lagi, semoga semua tetap diberikan kesehatan, sampai pandemi ini berakhir, entah sampai kapan.
#staysafe
#stayhealthy
#staystrong