Acara yang menyenangkan di akhir pekan itu salah satunya adalah mendengar berita dari kampung halaman. Berita senang, berita sedih. Semua tentang orang-orang di kampung. Yang kukenal dekat, setengah dekat atau kenal sangat dekat. Semuanya bisa jadi cerita yang mengasyikkan ketika diceritakan lewat telepon atau sekedar lewat WA. Mau menceritakan tentang siapa saja bisa, asalkan aku kenal. Tentu saja ceritanya berkisar tentang orang-orang, teman-teman seumuran yang sudah lama kutinggalkan. Aku puluhan tahun merantau, dan mereka puluhan tahun tetap di kampung halaman.
Ada cerita tentang Cak Su'ud. Dia dulu penjual bakso idola yang biasa mangkal di pojok gedung serba guna di kampung kami. Baksonya lumayan enak untuk ukuran harga pertemanan dan pertetanggaan pada zaman itu. Pokoknya masa kanak-kanakku dibuat bahagia dengan hadirnya Bakso Su'ud waktu itu. Terkadang, meskipun uangnya kurang, aku tetap diservis sesuai permintaan. Modalnya cuman satu. Tertawa-tawa saat dia menceritakan hal yang lucu-lucu. Sudah. Itu saja. Aku dapat bakso, Cak Ud dapat teman ngakak. Beberapa minggu yang lalu aku tahu kalau Cak Ud sudah meninggal. Kabarnya karena sakit. Entah sakit apa tidak ada yang tahu. Yang jelas tiba-tiba aku merasa sedih. Itu saja. Dari jauh doaku untuknya.
Cerita yang satu belum selesai datang cerita yang lain lagi. Ada yang lucu, ada yang bikin sedih. Namanya juga kenangan. Terkadang aku pun sudah lupa siapa yang sedang diceritakan. Terlalu lama di tanah rantau membuat ingatanku terkadang tumpul. Padahal dulu sekali, hampir satu kampung semua kukenal dan mengenalku. Kemana saja aku pergi pasti ada yang mengajak untuk bertegur sapa. Aku merasa dicintai orang satu kampung. Kemana-mana selalu ada yang memanggil namaku. Dan kemana-mana aku tidak pernah pelit untuk berbagi ketawa ngakak atau sekedar tersenyum menanggapi semua sapaan. Tapi kalau diceritakan lagi lewat telepon, semua jadi mental. Harus berusaha keras untuk mengingat, nama, wajah, lokasi rumahnya dulu, dan sebagainya. Bahkan terkadang sampai lama baru tergambar di benakku. Lha puluhan tahun loh. Dulu mungkin mereka masih muda, tetapi sekarang kan aku juga tidak tahu bagaimana bentuknnya. Jadi ya maklum saja kalau aku sering error ketika mendengar cerita tentang si ini atau si itu.
Bagimanapun juga aku bangga jadi orang kampung, orang udik. Yang bisa jadi kebawa-bawa sampai sekarang ini. Di kampung aku belajar bagaimana menjadi orang yang penuh empati. Belajar bagaimana menghargai orang lain dengan saling membantu tanpa pamrih. Di kampung aku mengenal banyak orang bersahaja yang mengajarkan aku bagaimana cara menjadi orang Samaria yang murah hati. Tidak perlu berlagak sok suci tapi munafik. Semua adalah asli apa adanya. Ada silahkan ambil, tidak ada ya ayo kita jalani sama-sama.
Membicarakan orang di kampung tidak akan pernah selesai. Ceritanya pasti jadi panjang dan bertele-tele. Si A baru saja meninggal kena Covid. Si B yang dulu begini jadi begono. Atau si C yang dari dulu selalu jadi tukang bikin onar tidak habis-habis. Semua itu bagiku menjadi hiburan tersendiri. Memunculkan kenangan. Membuatku tertawa bila ada yang bisa kuingat. Dan membuatku bertanya-tanya ketika pikiran sudah lupa untuk mengurai tentang apa. Semua cerita, semua kenangan, bisa disampaikan semua hanya lewat telpon-telponan, atau WA-WA an. Dan bagi para perantau sepertiku, sekedar bertelepon, sekedar ber WA, adalah salah satu obat yang tak tergantikan. Obat penawar rindu ketika tak bisa pulang.
Selesai bertelepon, seperti biasa aku akan berdoa" Semoga semua baik-baik saja! Semoga semua orang yang pernah kukenal dan mengenalku, selalu berada dalam lindungan Tuhan Sang Maha Cinta."