Martina Felesia

Waktu itu tanggal 7 Agustus 2010.  Belum memasuki zaman Corona.  Masih zaman adem ayem.  Aku sedang menikmati datangnya batuk pilek yang parah ketika mendapat undangan untuk menghadiri pernikahan anak bos di Singapore.  Mau nggak mau, enak nggak enak mesti pergi.  Masalahnya beliaunya langsung yang kasih perintah.  Beruntung segerombolan para pemilik passport baru mau diajak melalak-lalak ke negeri seberang.  Sepuluh orang pun bolehlah daripada tidak ada kawan sama sekali.  Lebih banyak lebih baik.

Diiringi hujan badai di pelabuhan ferry pada saat itu, akhirnya kami pergi juga.  Naik ferry yang agak pagi biar pulangnya tidak terlalu sore.  Sebenarnya ngeri  juga bepergian pada saat cuaca sedang tidak bersahabat seperti itu.  Rasanya males banget mau berangkat.  Tapi mau gimana lagi?  Nanggung kalau mau balik kucing.  Apalagi tiket sudah dibayari.  Tinggal berangkat doang masak harus dibatalkan hanya gara-gara hujan? Malu-maluin aja! 
 
Setelah sekitar setengah jam diombang-ambingkan ombak di atas ferry, sampai juga kami di HFC Singapore.  Ujian pertama untuk para pemilik pasport baru adalah menghadapi petugas imigrasi yang masing-masing orang bisa beda persepsi.  Kalau lancar boleh jalan terus, kalau nggak lancar ya harus siap masuk "longkap".  Alhamdulillah dari sebelas orang dalam rombongan kami hanya satu orang yang bermasalah dengan dokumen kunjungannya.  Terpaksa kami harus menunggu sampai dia selesai diinterogasi. Sambil menunggu tentu saja kami poto2 dulu.  Narsis dulu.  Biar saja dibilang norak, yang penting poto!
 
Ujian kedua adalah mencari cara supaya bisa sampai di tempat kondangan dengan selamat tanpa tersesat.  Dengan sedikit ilmu "tunjuk jari", guide tour amatiran pun akhirnya ditemukan.  Siapa lagi kalau bukan mereka yang dasarnya suka klayapan.  Tugasnya adalah mengarahkan para followers ke arah stasiun MRT, beli tiket pada tempat yang telah disediakan sekaligus memberi perintah supaya tetap berada di jalur yang benar.  Berada di sebuah stasiun MRT yang serba canggih tentu saja sangat membingungkan bagi kaum awam seperti kami, yang hanya bisa bilang yes atau no kalau ditanya.  Itu sebabnya kami berusaha tertib dan coba mengikuti petunjuk, meskipun tetap dengan wajah celelekan dan tertawa-tawa sepanjang jalan tiada habisnya.

Aku ingat wedding anak bosku adalah acara yang cukup membahagiakan sekaligus mengharukan.  Membahagiakan karena akhirnya Pak Bos berhasil menikahkan anak ketiganya sesuai harapan.  Mengharukan karena sebenarnya acara pernikahan ini dimajukan dari jadwal semula setelah beliau didiagnosa menderita kanker paru-paru stadium empat.  Jadilah acara itu menjadi ajang curhat-curhatan kami semua.  Rasanya seperti mimpi karena tidak menyangka bahwa Pak Bos yang kelihatannya sehat walafiat akan mengalami nasib sedemikian rupa.  Nasib yang sewaktu-waktu juga bisa menimpa diri kami semua.  Hanya Tuhan yang tahu.

Sepulang dari kondangan tentu saja masih ada acara lanjutan.  Pertama meluncur ke Bugis Street dulu.  Cari oleh-oleh dan cemilan. Naik MRT lagi,  jalan kaki lagi.  Bosen di Bugis, lanjut ke Orchad Road.  Poto-poto lagi, narsis lagi.  Untunglah senorak apapun gayanya nggak ada yang ngomentari.  Semua orang ternyata sibuk dengan urusan masing-masing.  Tidak peduli kami mau bergaya apa.  Capek di Orchard, sebagian lanjut ke Merlion di daerah Raffles.  Aku dan seorang lagi pilih menunggu di HFC karena kepala rasanya mau copot.  Biasa.  Kalau kecapekan kepalaku memang langsung berdentam-dentam laksana dipukul palu.  Itu tandanya harus segera beristirahat.  Minimal duduk dulu sebelum melangkah ke jenjang berikutnya.  Pulang ke Batam!

Sambil menunggu yang lagi sibuk jalan-jalan, kusempatkan membeli beberapa bungkus coklat di HFC sebagai oleh-oleh. Waktu itu Giant adalah salah satu tempat favorit karena banyak yang murah-murah di sana.  Pada akhirnya sakit kepalaku baru bisa reda setelah minum obat yang selalu kutenteng kemana-mana, dilanjutkan dengan acara masih setia menunggu sambil menikmati segelas teh tarik dan seporsi roti perata.  Nikmat banget rasanya.  Hanya saja karena kecapekan, batuk yang sempat terlupakan kembali datang menyerang.  Walah,  sudah macam nenek2 rasanya.

Akhirnya, dengan badan penat dan kepala yang kembali nyut2 akibat batuk, kami pulang juga.  Hanya saja, meski ayunan ombak terasa sampai ke jantung tapi acara pulang pada akhirnya menjadi acara hahahihi yang paling seru.  Membicarakan kenorakan2 para pemegang pasport baru  memang tidak akan ada habisnya.  Banyak lucunya daripada seriusnya.  Tidak peduli penumpang lain mencoba memejamkan mata dan tidur, aku dan gerombolan keong racun terus saja tidak bisa berhenti tertawa.  Padahal sesekali aku harus minum karena tersedak akibat kebanyakan tawa.

Terlepas dari perjalanan kami menghadiri kondangan sekaligus mencari hiburan yang hingar bingar, saat itu banyak kupanjatkan doa semoga bosku segera mendapatkan kesembuhan.  Semoga ikhlas dan tabah dalam menerima cobaan ini.  Siapa tahu dengan mengikhlaskan segalanya, maka kesembuhan akan datang dengan sendirinya.  Secanggih apapun diagnosa dokter, hanya Tuhanlah yang mampu menentukan segalanya.  Selagi masih bernafas, tidak rugi untuk meluangkan waktu memperbaiki semuanya.  Life must go on.......!!!  Semangat Bos....semangat.......!!!
 
NB:  Dan enam bulan kemudian, beliau wafat dengan tenang. Semoga arwahnya diterima dalam keabadian. RIP Bapak Supingi Kasbie.
Label:
0 Responses