Martina Felesia

 "Suamiku selingkuh!" seorang teman mengabarkan dengan tiba-tiba. Pagi itu ia datang berkunjung ketika aku sedang mengecat kamar karena suamiku masuk kerja.


"Ha??? Masak sih???!!" aku terpana. Kubayangkan model suaminya yang serba perfect dan tipe setia setiap saat kayak Rexona itu mampu menyelingkuhi istrinya. 

"Kamu pasti tidak percaya jika kuberitahu siapa yang menjadi selingkuhannya itu!" ia menambahkan lagi dengan berapi-api.  

"Ha??? Emang siapa???" aku menjadi kepo.  Kuhentikan sejenak acara mengecat tembok. Mataku tertuju pada temanku dengan rasa penasaran yang dalam. Tipe emak-emak banget pokoknya.  Dan hampir saja aku terjengkang dari meja kecil yang kupakai sebagai pijakan ketika temanku itu menyebutkan nama seorang kawan lain, yang notabene kukenal dengan baik dan juga sangat dikenalnya dengan baik.

"Ha??? Ah yang betul??? Masak sih??!" aku tertawa ngakak. Merasa tidak percaya bercampur geli. Masak kawan sebaik dia tega bermain api dengan suami teman sendiri sih?.

Jadi akhirnya mengalirlah cerita tentang perselingkuhan itu dengan lancarnya selancar air terjun Niagara yang tidak pernah berhenti mengalir. Mulai dari kecurigaan-kecurigaan kecil yang selama ini ditunjukkan oleh temanku itu sampai bukti paling otentik pesan-pesan mesra yang ia temukan di handphone suaminya terhadap selingkuhannya tadi. Dan juga panggilan spesial dari selingkuhan tadi terhadap suaminya.  Kebaikan-kebaikan yang mula-mula dianggap biasa-biasa saja pada saat sahabat tadi sering datang "menyambangi" rumahnya pada saat dia tidk ada di rumah sampai intensitas perhatian yang sering diberikan kepada suaminya dengan sengaja maupun tidak sengaja. Bla....bla..bla.....dan seterusnya........dan seterusnya.

Sepanjang jalan cerita aku hanya mampu terbengong dengan mulut ternganga. Bayangkan saja. Ini adalah peristiwa langka yang kupikir tidak akan pernah dialami oleh temanku itu. Betapa tidak? Ia punya kehidupan yang lebih dari cukup dalam urusan materi. Ia punya suami yang (kuanggap) mencintainya setulus hati tanpa embel-embel ini dan itu. Ia punya anak yang meskipun hanya satu tapi cukup untuk menyemarakkan suasana rumah tangganya selama ini. Bagiku temanku itu sungguh sempurna. Ia punya segala-galanya. Dan kupikir ia adalah wanita yang paling bahagia di dunia. Ternyata oh ternyata......!

"Bisa jadi si Mas sedang puber kedua,"aku berusaha menghibur temanku itu. Dalam hati aku sendiri tidak yakin apakah yang namanya puber kedua itu sungguh ada atau hanya alasan yang mengada-ada. Mungkin karena selama ini banyak perselingkuhan terjadi dengan alasan puber kedua, ketiga dan seterusnya. Padahal ya, bisa jadi itu memang hanya alasan saja dari para pelaku perselingkuhan untuk membenarkan kelakuan buruknya. Sungguh, dalam hal ini aku tidak bisa berkata apa-apa.

"Kuterima kalau alasannya demikian. Tapi bagaimana mungkin ia bisa selingkuh dengan teman sendiri?"ia menambahkan. "Atau bisa jadi menurutnya aku sudah tidak cantik lagi. Sudah tidak seksi lagi. Tapi apakah dengan demikian ia bisa membuangku begitu saja?"setengah mengeluh ia bertanya.

Akhirnya batallah acaraku untuk menyelesaikan mengecat kamar. Sepanjang hari itu aku hanya mencoba untuk menjadi seorang pendengar yang baik. Berusaha untuk bersimpati dan berempati terhadap nasibnya. Sampai ia pulang pun aku hanya bisa tercenung. Masih dengan pemikiran yang sama atas kelakuan suaminya : tidak percaya!

Begitu mudahkah seseorang merusak komitmennya sendiri?  Komitmen yang dibangun berdasar atas pilihan sendiri dan keputusan sendiri? Komitmen untuk saling mencintai, mendukung dan menghormati, dalam untung dan malang, dalam suka dan duka? Bagaimana bisa sumpah setia di depan altar dikotori dengan alasan klise yang tak seberapa berupa frase : puber kedua? Tidakkah alasan itu adalah alasan yang hanya dipakai sebagai pembenaran diri dan terlalu mengada-ada? Setelah bertahun-tahun....setelah berpuluh-puluh tahun.....mengapa baru ada kata tidak cocok? Mengapa tidak ada keberanian untuk mengatakan TIDAK sejak awal mula dulu? Mengapa harus menjalani rasa "tidak bahagia" selama bertahun-tahun jika bisa mencegahnya sejak dulu kala? 

Pada akhirnya......

Aku berdoa untuk temanku dan suaminya......untuk kawan satunya dan suaminya juga....! Semoga mereka bisa saling membagikan maaf untuk pasangannya masing-masing. Saling mengampuni. Saling berekonsiliasi. Saling memperbaiki diri. Memulai untuk berkomitmen kembali dari awal. Memulai memandang masa depan dengan secercah harapan baru. Minimal mereka harus mulai memikirkan hal yang paling penting dalam hidup mereka yaitu anak-anak yang sudah dititipkan Tuhan kepada mereka.

Seperti kataku dulu : menikah memang mudah.....yang susah adalah menjalaninya........! Aku bicara begini bukan karena hal itu tidak terjadi padaku.  Bisa jadi belum tiba giliranku.  Apa sih yang tidak mungkin dalam hidup ini?  Selagi masih menikah dengan yang namanya manusia, apapun bisa terjadi karena kita adalah mahkluk yang tidak sempurna.  Dan sebagai manusia, godaan akan selalu ada di luar sana.  Kembali kepada kita masing-masing, mampu bertahan atau malah tumbang dalam menjalani perjalanan yang memang sungguh tidak mudah ini. Aku hanya bisa berharap, semoga api cinta senantiasa tetap menyala dalam hati kita semua, dalam hidup pernikahan kita masing-masing, sehingga kita mampu menjalani semuanya sampai selesai.  Amin.

#Repost
#Tulisanlama
Label:
0 Responses