Martina Felesia

 

Jujur saja masa-masa kegelapan dalam kungkungan Covid-19 masih meninggalkan luka yang sampai detik ini sulit untuk kulupa.  Banyak kawan, banyak kesempatan, yang akhirnya harus terenggut begitu saja karena dasyatnya wabah yang melanda. Kabar buruk datang silih berganti.  Entah dari kampung halaman, entah pula dari kampung tempat aku tinggal.  Bahkan  entah dari mana-mana di seluruh negeri dan dari benua lainnya. Jangankan saling kunjung seperti sebelumnya.  Sekedar berbincang satu sama lain pun menjadi dilema tersendiri yang tidak terbayangkan kejamnya.

Dulu, setiap kali aku ke Jogja pasti ada seseorang  yang akan selalu kudatangi atau mendatangiku.  Seorang kawan yang sudah seperti saudara.  Seseorang yang dulu kukenal di perantauan dan akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke kampung halaman.  Seseorang yang selalu berusaha untuk membuat hidup orang lain lebih bercahaya dengan canda dan tawanya.  Seseorang yang dengan caranya sendiri berusaha untuk menjadi seseorang yang lebih baik dari hari ke hari.  Tapi dasyatnya wabah tidak mampu ditolaknya.  Kawanku, saudaraku, Mekar 'Mekrok' Setianingsih, akhirnya harus takluk dalam dekapan maut di penghujung tahun 2021.  Pergi begitu saja.  Meninggalkan luka yang sampai hari ini masih terasa.

Dan masih banyak cerita-cerita lainnya.  Ada juga tentang seorang kawan dekat yang biasa jadi kawan berdiskusi dan berinteraksi tiba-tiba saja pergi.  Mas Bambang.  Demikian aku memanggilnya.  Hanya sakit sebentar dengan keluhan yang biasa-biasa saja.   Rawat inap semalam dan keesokan harinya sudah berpulang.  Sedih?  Kaget?  Lebih dari itu kurasa.  Sampai sekarang aku menganggapnya masih ada.  Tidak pernah meninggal dunia.  Hanya pergi jauh dan memutuskan untuk tidak lagi pulang.  Bahkan setiap bertemu dengan anak istrinya, aku masih merasakan hal yang sama. Beliau masih ada! Salah satu orang baik yang juga kukenal di perantauan.  Seseorang yang dengan sukarela dan tanpa lelah mencurahkan seluruh hidupnya dalam pelayanan di gereja.

Selain meninggalkan mimpi buruk, wabah juga mengajarkan kepadaku tentang arti pertemanan yang sesungguhnya.  Saat-saat butuh dukungan, saat-saat kesepian.  Banyak hal yang pada akhirnya dibukakan dengan terang dan gamblang.  Ada salah paham.  Juga salah pandang.  Bahkan salah memilih teman.  Teman yang mungkin dari luar seperti malaikat ternyata malah seperti serigala berbulu domba.  Teman yang dianggap orang lain seperti setan, malah menjadi cahaya di masa-masa susah.  Pada akhirnya kesulitan akan memperlihatkan karakter asli seseorang yang sesungguhnya.  Jadi, jangan pernah memberikan penilaian berdasarkan penampilan dan perangai belaka.  Semua bisa terbalik-balik.  Waktu, dan hanya waktu yang akan membuktikan semuanya.

Ah, kenangan!  Harap bisa kulupa walaupun sulit terasa.   Masa-masa kelam.  Masa-masa penuh jelaga.  Masa-masa di mana orang per orang harus berlalu dalam diam.  Masa-masa di mana dunia harus tenggelam dalam kontemplasi kehidupan yang begitu nyata.  Mungkin akan butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka, karena baru terjadi beberapa tahun yang lalu.  Tapi segala kemungkinan untuk pulih akan selalu ada.  Dan semoga tidak pernah lagi mengalami hal yang sama.  Semoga!

Label: ,
0 Responses