Martina Felesia

 

Beberapa hari ini entah kenapa aku kangen berat sama Kepin, kucingku yang sudah mati dua tahun lalu karena sakit.  Itu sebenarnya kucingnya anak-anak.  Yang kasih nama juga mereka.  Dikasih seorang kawan pada saat anak-anak harus kumpul di rumah akibat wabah Covid-19.  Mereka senang karena mendapatkan hiburan.  Sekaligus mengurangi kesuntukan karena tidak bisa kemana-mana.

Awalnya aku bersikeras tidak mau memelihara binatang di rumah.  Apapun bentuknya pokoknya selalu kubilang "tidak".  Mau anjing kek, kucing kek, aku tidak peduli.  Aku males bersih-bersih.   Tapi akhirnya aku luluh karena anak-anak begitu menginginkan binatang peliharaan.  Dengan berat hati kusetujui untuk memelihara binatang dengan 'pidato' di depan bahwa anak-anak yang harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap binatang peliharaan mereka.  Urusan kasih makan, memandikan, dll. aku tidak ikut-ikutan.

Kepin adalah hasil kawin silang antara kucing kampung dan kucing persia.  Itu sebabnya ukurannya lumayan besar untuk ukuran kucing biasa.  Pertama datang dia terlihat ketakutan.  Tidak mau dimasukkan kandang.   Terpaksa kulepaskan karena kasihan.  Sekalian biar dia tahu di mana dia harus buang air besar dan buang air kecil.  Pertama-tama kami ajarkan dia untuk kencing di pasir yang sudah disediakan.  Agak susah.  Tetapi setelah beberapa kali ulang dia langsung paham.  Hanya saja untuk pup dia selalu lari ke kamar mandi dan pup di situ.  Memudahkan kami untuk membersihkan kotorannya karena bisa sekalian langsung siram.

Ujung-ujungnya janji-janji tinggal janji saja.  Anak-anak sudah mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing.  Kakak sulung harus kembali ke kota tempat dia menuntut ilmu.  Si nomor dua yang paling ngebet memelihara kucing sedikit demi sedikit mulai lupa untuk memandikan dan kasih makan karena lebih memilih untuk fokus pada gadgetnya.  Si bungsu hanya mau memanja-manjakan saja.  Harus diteriakin dulu untuk mengingatkan apakah kucingnya sudah dikasih makan atau belum.  Lama-lama aku dan bapaknya yang akhirnya harus turun gunung.  Pertama karena kasihan kalau melihatnya mengeong seperti tak bertuan.  Lama-lama dia seolah menganggap kami sebagai induknya.  Ngekor kemana-mana kalau butuh sesuatu.

Pada akhirnya kami, yang dua-duanya tidak suka kucing, lama-lama jatuh cinta juga.  Aku yang paling rajin memandikan kalau kulihat bulunya sudah mulai kusam.  Nggak tahu ceritanya pokoknya dia harus mandi seminggu sekali, setiap Sabtu.  Untuk jatah makan bapaknya anak-anak yang sibuk menyiapkan.  Beli snack kucinglah, beli ikanlah, dan lain sebagainya.  Kami tidak pernah memberinya makanan sisa.  Setiap hari masak fresh from the kompor saja.  Secara tidak langsung dia kami akui sebagai bagian dari anggota keluarga.  Sakit sedikit diajak ke dokter.  Hilang sebentar sibuk dicari kemana-mana.

Hingga pada suatu hari, Kepin terkena virus mematikan (namanya aku lupa).  Perutnya perlahan-lahan membesar.  Kata dokter tidak akan bisa sembuh biarpun dioperasi.  Tinggal menunggu waktu saja maka dia akan mati.  Sedih banget nggak sih tahu peliharaan kita akan mati?  Setelah didiagnosa sakit dia tidak pernah lagi kluyuran kemana-mana.  Hanya diam di rumah.  Bermain dengan kami bertiga karena si Tengah juga harus melanjutkan pendidikan di luar kota.  Tetap lincah dan caper seperti biasa.  Semakin suka bermanja-manja.  Tetapi pada akhirnya memang dia harus menyerah.  Virus mematikan telah membuatnya lemah dan semakin lemah dan akhirnya mati.  Kami sekeluarga diam-diam meneteskan air mata ketika tahu dia sudah tiada.  

#Sekarang kalau rindu aku suka melihat-lihat fotonya yang lucu.  Bagiku, dia tidak pernah mati.

Label:
0 Responses