Martina Felesia

Ada satu masa ketika dalam hidup berumah tangga muncul percik-percik kegaduhan dan kemangkelan pada pasangan yang ujung-ujungnya menimbulkan pertengkaran.  Ada yang bermula dari masalah besar, ada juga yang bermula dari masalah remeh temeh belaka.  Sepele di satu sisi, tapi bagi yang lainnya mungkin penting sekali.  Jika benih-benih keributan ini tidak cepat diatasi, ada kemungkinan bisa menimbulkan efek tidak mengenakkan bagi kedua belah pihak, bagi suami dan istri itu sendiri.  Efek tidak mengenakkan itu bisa saja berlangsung singkat, tapi bisa pula berlangsung dalam jangka waktu yang sangat panjang.  Ujung-ujungnya masalah tidak terselesaikan, dan mungkin malah bisa menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja, yang mampu menghancurkan seisi rumah berikut seluruh penghuninya.

Aku bukan pakar cinta-cintaan atau pakar konseling keluarga.  Aku hanya belajar dari perjalananku selama hampir dua puluh lima tahun ini, bahwa sebenarnya dalam hidup berumah tangga, tidak ada itu yang namanya pasangan ideal.  Tidak pula ada yang namanya pasangan sempurna.  Di drakor mungkin ada.  Tetapi dalam kehidupan nyata jangan harap.  Mungkin saat awal-awal kenal semua yang ideal atau sempurna bisa dibuat seolah terlihat nyata.    Direkayasa supaya terlihat otentik dan orisinil.  Tapi pada akhirnya, seiring perjalanan waktu, semua yang ideal atau sempurna itu sebenarnya hanyalah angan-angan belaka.  Angan-angan yang memang diinginkan banyak orang, meskipun tahu pasti, bahwa tidak akan ada yang namanya ideal atau sempurna jika kita masih berupa seorang manusia, bukan malaikat.

Menurutku, ketika dua orang manusia yang berbeda dipersatukan dalam ikatan perkawinan, mereka tidak harus menjadi dua orang yang sama.  Bisa saja mereka tetap menjadi dua orang yang berbeda.  Tetap dengan sifat dan karakter yang mereka punya sebelumnya.  Tetapi ketika memutuskan menikah, paling tidak kedua belah pihak sudah harus memiliki pemikiran dan pemahaman yang lebih terbuka terhadap pasangannya.  Bisa saling menerima satu sama lain.  Ada respek.  Ada toleransi.  Mau menerima kekurangan dan kelebihan.  Bersedia memaafkan dan meminta maaf atas terjadinya masalah yang ditimbulkan.  Jika dari awal tidak ada keinginan seperti itu, sebaiknya jangan menikah.  Nanti malah jadi gila.

Aku sendiri punya cara 'cantik' untuk bertengkar dengan suami.  Kalau sedang marah, lebih baik aku diam.  Jangan sampai anak-anak, teman-teman, apalagi tetangga, tahu kalau kami sedang bertengkar.  Tidak bakalan ada itu yang namanya teriakan, makian, apalagi sampai harus banting-banting barang.  Eman-eman barange.  Pantanglah berantem model barbar seperti itu.  Biasanya sih kalau kondisi sudah agak tenang, aku akan menuliskan segala uneg-unegku panjang lebar.  Bisa di komputer, bisa langsung di hp.  Habis itu sent.  Kirim via email atau WA.  Tidak lupa kukode:  "Baca WA.  Atau baca email!"😁😁

Mengapa kok harus dituliskan?  Karena biasanya kalau sedang marah, seseorang secara spontan akan mengeluarkan isi kemarahannya tanpa pikir panjang.  Dan yang namanya marah, tidak mungkin kosa kata berikut intonasinya bisa terdengar lembut merdu mendayu-mendayu.  Apalagi aku.  Ngamuk ya ngamuk saja.  Nggak bakalan sempat memilih kosa kata yang indah-indah.  Kalau tidak dituliskan aku takut marahnya kebablasan.  Emosi terkadang bisa membuat seseorang lupa diri, bukan? Dan emosi sesaat biasanya akan mengakibatkan penyesalan yang berkepanjangan.  Lagipula, kemarahan yang langsung diluapkan bisa jadi akan meninggalkan 'luka' di hati pasangan.  Kata dan kalimatnya sendiri sudah berlalu.  Tetapi 'bekas'nya akan sulit hilang.  Diingat atau tidak, akan tetap terpatri dalam ingatan. Tetapi kalau dituliskan, aku bisa menyensor dulu kata-kata yang terlihat kasar, untuk menjadi kasar tanpa terlihat kasar.  Kalimat yang halus tapi jauh lebih menyentuh.

Lewat tulisan, setiap kata kasar bisa langsung dihapuskan.  Tetapi kalau langsung dilampiaskan, akan susah payah untuk dihilangkan.  Bagiku, tidak masalah sih mau dibaca seluruhnya atau hanya sebagian.  Yang penting sudah kutulis dan sudah kukirim kepada yang bersangkutan.  Kalau pada akhirnya ada kata 'maaf' berarti sudah dibaca.  Kalau nggak ada balasan apa-apa ya akan kuulang lagi untuk mengirimnya.  Berkali-kali sampai dibaca.  Begitulah ceritanya! 😂😂

Jadi bagi orang-orang muda di luar sana, kalau hobinya masih nonton drakor, dan bermimpi dapat suami atau istri seperti tokoh-tokoh di dalamnya, jangan buru-buru memutuskan untuk menikah.  Bersenang-senang saja dulu.  Banyakin kawan.  Perluas pergaulan.  Menikah itu tidak semudah saat mengucapkan janji-janjinya.  Menikah itu tentang menjalani hidup bersama-sama dengan pasangan yang bisa seia sekata denganmu, tapi masih bisa saling eyel-eyelan. Jangan berharap dapat pasangan yang ideal.  Apalagi pasangan yang sempurna.  Sekali lagi kukatakan, semua itu tidak ada.  Selagi sadar bahwa diri sendiri bukan manusia ideal dan sempurna, tidak pantas untuk menuntut orang lain menjadi manusia ideal dan sempurna.   Jalani saja dengan gembira dan apa adanya maka semua akan menjadi ideal dengan sendirinya.

NB:  Nggak tahu sih ini topiknya tentang apa.  Pengin ngoceh saja siang-siang lewat tulisan!😎😁

Label:
0 Responses