Martina Felesia

Tampaknya tidak mudah menjadi tua tanpa galau.  Atau paling tidak menuju tualah.  Seperti aku, dengan usia yang sudah berada di angka lima puluh tahun lebih sikit dan perlahan tapi pasti semakin beranjak naik seperti lagu taman kanak-kanak yang pernah ngetop sepanjang masa.  Sebenarnya sih belum bisa dibilang tua banget ya.  Tapi agak-agak semacam umur lebihlah.  Tapi lebihnya agak banyak gitu. Jadi ya....begitulah! Sudah tua tapi tanggung๐Ÿ˜

Jadi galaunya kenapa?  Ya nggak kenapa-kenapa.  Nggak ada angin nggak ada hujan penginnya galau saja.  Padahal internet ada.  Netflix ada.  Cemilan pun ada.  Hanya saja sepertinya menuju tua itu memang ditakdirkan untuk sering-sering menggalau meskipun tanpa tahu apa penyebabnya.  Minimal ada yang dipikirkanlah. Biar tidak pikun. Contohnya seperti memikirkan masa depan anak-anak yang belum jelas.  Sekaligus memikirkan masa depan diri sendiri yang juga tak pasti.  Dan yang paling sering tentu saja memikirkan kapan akan mati.

Pernah nggak sih curhat dan tawar-menawar sama Tuhan seperti ini: "Tuhan nanti kalau suatu saat saya mati, jangan dengan cara yang susah-susah ya.  Yang gampang-gampang saja.  Nggak usah pakai sakit-sakit segala.  Repot!  Sudah ngrepoti yang masih hidup, ngrepoti saya juga karena tidak bisa santai dan leyeh-leyeh dengan damai.  Padahal kan katanya mati itu adalah berpulang dengan damai, seperti yang biasa didaraskan oleh mereka-mereka yang masih hidup."  

Aku pernah.  Sering malah.  Masalah didengarkan atau tidak itu urusannya Tuhan, bukan urusanku.  Jadi meskipun galau, tetapi hati ini tetap menyimpan harapan.  Daripada hanya jadi unek-unek.  Mending disampaikan dengan terus terang.  Ya kan?

Terus apa lagi yang digalaukan selain urusan mati?  Tentu saja urusan badan yang mulai sering pegal linu di mana-mana.  Terlalu lincah dibilang Neli.  Terlalu lamban dibilang Nela.  Tidur agak serampangan posisinya langsung kecethit.  Tidur anteng-anteng saja tidak bisa.  Mau pipi agak chubby sedikit langsung disuruh olah raga sama pak dokter demi antisipasi tensi dan kolesterol yang tinggi.  Padahal kalau agak langsingan pipinya jadi kayak jelangkung kurang makan.  Serba salah pokoknya.  Belum lagi hobi membaca yang harus tertunda-tunda gara-gara urusan mata.  Kalau dulu ratusan halaman bisa lunas dalam satu atau dua hari sekarang butuh waktu berhari-hari.  Capek!

Meskipun begitu, semua tetap harus dinikmati.  Harus dijalani.  Segalau-galaunya hidup, pasti tetap ada sensasinya.  Boleh saja kok galau.  Nggak ada yang melarang.  Semua sah-sah saja.  Yang penting itu tetap sadar diri.  Tetap semangat meskipun  terkadang  raga tidak mendukung.  Dan yang penting lagi tetap harus mencari kegiatan yang menyenangkan.  Jangan sampai Corona sudah selesai tetapi keinginan untuk rebahan tetap tinggi.  Bagiku galau silahkan, patah arang jangan.  Selagi internet jalan, no lelet no padam, dan isi dompet masih ada beberapa lembar warna merah, maka tidak ada artinya menjadi galau ๐Ÿ˜‚

Ayo kaum menuju lansia pemuja internet.  Semangat!  Umur lebih bukan halangan untuk bisa bersenang-senang dengan cara kita masing-masing.  Uban dan segala macam pernak-pernik kehidupan akan mengikuti dengan sendirinya.  Segala yang hidup pasti pada saatnya akan mati.  Jadi tidak perlu cemas, tidak perlu risau, karena pada saatnya nanti, semua akan mendapatkan giliran.  Cheers.....!๐Ÿ’—

Label:
0 Responses