Martina Felesia

Pantai Aleiora Batam - 2020

Anakku tiga orang.  Cewek, cowok, cewek.  Masing-masing 23, 18, dan 16 tahun. Anak pertama mewarisi sifat burukku yang paling sering kulupa: keras kepala!  Anak kedua lebih selow dalam menjalani hidupnya.  Tidak terlalu banyak menuntut.  Yang penting ada internet dan persediaan makanan, maka semua akan baik-baik saja.  Anak ketiga lebih parah lagi.  Selain mewarisi kekeraskepalaan mamaknya dia juga si paling jago komplain dalam segala hal.  Belum bisa diajak bicara secara apa adanya.  Masih sering jadi korban iklan dan media sosial.  Dipikirnya semua yang divideokan orang itu sesuai dengan kenyataan.  Padahal bisa jadi memang betulan, atau hanya sekedar konten saja.  Kadang aku terprovokasi juga sampai ikutan nyinyir.  Tapi sesudah itu kubiarkan saja.  Pada saatnya toh  dia akan bosan juga.

Waktu mereka masih anak-anak aku agak lebih mudah dalam mengatasi kerumitan sebagai orangtua meskipun disambi kerja.  Sekarang ini sepertinya harus lebih ekstra hati-hati dalam menyampaikan berbagai pendapat dan informasi.  Terkadang mereka mengiyakan tanpa banyak tanya karena malas mencari-cari informasi lain lagi.  Tapi lebih sering lagi melontarkan bantahan yang bisa jadi membuat emosi.  Jadi jangan heran kalau di rumah ribut bisa dibilang isinya hanya keributan yang tak berarti.  Ribut, terus ketawa-ketawa.  Begitu terus setiap hari.  Kalau nggak ribut soal berapa banyak waktu yang seharusnya dihabiskan untuk main game, pasti ribut masalah urusan sekolah yang harusnya dikerjakan kemarin-kemarin tapi baru dikerjakan hari ini padahal besoknya harus segera dikumpulkan.  Dan siapa biang ributnya?  Tentu saja mamaknyalah.  Siapa lagi, ya kan?😁

Kepada anak pertama selalu kutekankan: jangan mau kawin muda!  Selagi masih muda, bekerjalah.  Cari duit untuk menyenangkan diri sendiri.  Jalan-jalan ke tempat di mana belum pernah pergi dengan duit sendiri.  Bersenang-senanglah.  Jangan sampai menjadi korban sinetron atau drakor.  Menikah itu mudah.  Yang susah itu bagaimana menjalaninya.  Apalagi kalau dapat suami modelan patriarki yang semua-mua mau dilayani.  Dan belum lagi punya mertua yang merasa bahwa kamu adalah 'pembantu' dari anaknya.  Pokoknya jangan pernah menikah muda.  Menikahlah pada saat kondisi ekonomi dan kejiwaan kedua belah pihak sama-sama siap, tanpa saling membebani.  Menikahlan bukan karena dikejar-kejar pertanyaan dari orang lain 'kapan nikah-kapan nikah', tapi menikahlah pada saat sudah stabil secara finansial, dan sehat secara jasmani maupun rohani.

Kepada anak kedua aku selalu mengatakan: jadi laki-laki jangan kasar, tapi juga jangan cengeng!  Jadilah laki-laki yang sabar dan lembut hati seperti bapakmu.  Karena sepintar-pintarnya dirimu, pada saatnya nanti hanya kesabaran yang akan menyelamatkan hidupmu.  Dari sekarang persiapkan dirimu.  Bukan hanya secara akedemik, tetapi juga secara mental.  Belajarlah melakukan pekerjaan rumah tangga juga.  Menyapu, mengepel, mencuci piring, memasak nasi, dan kalau perlu memasak.  Minimal bisa memasak untuk diri sendiri.  Pekerjaan rumah tangga bukan hanya tugas perempuan saja, tetapi tugas semua orang yang hidup di dalam rumah tangga itu sendiri.  Suatu saat kelak jika sudah berkeluarga sendiri, istrimu akan bangga mempunyai suami seperti kamu, jika tidak pernah memperlakukannya seperti seorang pembantu.  

Kepada anak ketiga aku lebih cerewet lagi:  belajarlah baik-baik dan sungguh-sungguh!  Milikilah cita-cita setinggi langit.  Sekolah dengan baik, supaya bisa bekerja di luar negeri.  Bekerja di luar negeri akan membuat matamu lebih terbuka tentang sebuah dunia yang lebih luas dibandingkan di dalam negeri.  Di sini mendapatkan pekerjaan yang baik butuh perjuangan mati-matian.  Kalau tidak pakai orang dalam sudah pasti susah dapat kerja.  Kalaupun sudah dapat tetap harus pintar-pintar cari muka.  Jadi dari sekarang tetapkan tujuan dalam hidup.  Pergunakan masa muda dengan sebaik-baiknya, karena semuanya tidak akan bisa terulang lagi.

Itu semua adalah harapan kami sebagai orang tua.  Mungkin terkesan berlebihan.  Tetapi menurutku berbicara terus terang lebih baik daripada tidak memberikan informasi dan pemahaman sama sekali.   Jangan pernah membatasi komunikasi dengan anak-anak zaman sekarang.  Sekali kita menghindari komunikasi, maka seterusnya mereka akan menutup diri.  Kalau aku sih berprinsip biarlah mereka mendengar nasihat yang itu-itu saja dari mamak dan bapaknya.  Yang penting mereka masih mau mendengar suara orang tuanya.  Masih mau meminta pendapat bagaimana baiknya kalau begini atau begitu.  Jangan sampai mereka lebih mendengarkan nasihat kawannya daripada orangtuanya,  Itu saja!

Sebagai orangtua aku tidak mau muluk-muluk.  Meskipun campur tangan orang tua itu penting, tetapi pada saatnya nanti anak-anak akan memilih untuk memiliki jalannya masing-masing.  Selagi masih berada di jalan yang lurus, orang tua tugasnya hanya mengikuti.  Bagaimanapun juga mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia dewasa yang akan punya pemikirannya sendiri.  Jadi, tugasku sekarang ini adalah membebaskan diri sendiri supaya lebih bisa menjadi teman bagi anak-anak, dibandingkan menjadi orang tua yang terlalu protektif.  Selagi masuk akal pasti kuiyakan saja.  Asalkan mereka hepi aku pun hepi.  Gitu ae wes.  Simpel!

Label:
0 Responses