Aku belum menonton film Home Sweet Loan. Tetapi dari banyaknya video tiktok dan reels yang berseliweran aku jadi tahu, bahwa Kaluna adalah nama seorang anak bungsu yang harus ikut bersusah payah menanggung beban hidup keluarganya akibat 'kegoblokan' anggota keluarga tertentu. Aku bukan Kaluna dan aku adalah anak kedua dari empat bersaudara. Dilahirkan dalam keluarga yang mengutamakan kepentingan anak lelaki dibandingkan anak perempuannya itu sudah kurasakan jauh bertahun silam sebelum adanya film tentang Kaluna.
Dari keluargakulah aku belajar banyak hal. Betapa anak sulung yang kebetulan laki-laki harus menjadi raja di rumah dan adik-adik perempuannya harus selalu mengalah. Betapa seorang ibu lebih mencintai anak lelakinya meskipun anak perempuan yang lain notabene juga anak kandungnya. Betapa seorang ayah hanya bisa mengasihi anak perempuannya dalam diam hanya karena menghindari yang namanya pertengkaran. Dalam keluargaku jugalah aku bisa belajar, betapa didikan yang salah bisa menciptakan seorang manusia yang tidak berguna. Betapa memanjakan anak hanya berdasarkan gender adalah kesalahan fatal yang tidak akan pernah termaafkan.
Sama seperti Kaluna aku juga punya mimpi. Kalau Kaluna ingin punya rumah sendiri aku bermimpi pergi sejauh-jauhnya dari rumah. Bermimpi bisa lepas dari kegelapan dan kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-orang terdekat. Bermimpi bisa menciptakan kebahagiaanku sendiri. Bermimpi bahwa suatu saat nanti tidak akan pernah menjadi 'racun' jika memiliki keluarga sendiri. Bermimpi bahwa semua anakku harus mendapatkan hak yang sama, apapun jenis kelaminnya. Mau anak sulung, anak tengah, ataupun anak bungsu, akan kupastikan mereka mendapatkan dukungan serta kasih sayang yang sama dan setara.
Belajar dari Kaluna dan belajar dari keluargaku aku tahu bahwa tidak ada yang salah bagi seseorang untuk mengejar mimpinya sendiri . Jangan hanya berkutat pada masa lalu sampai lupa bahwa diri sendiri juga berhak untuk bahagia. Berani keluar dari lingkungan yang toxic itu lebih penting daripada tetap bertahan atas nama keluarga tetapi semuanya selalu terasa menyakitkan. Pergi dari rumah sejauh-jauhnya untuk menjadi orang yang lebih baik, jauh lebih berharga daripada diam tanpa melakukan apa-apa hanya karena takut dicap sebagai anak durhaka. Minggat dengan berpamitan itu lebih indah daripada berdiam saja di rumah tapi hanya bisa jadi biang masalah. Mencintai dari jauh ternyata lebih efektif daripada menyimpan benci meskipun tinggal dalam jarak dekat.
Aku bukan Kaluna tetapi memiliki hati yang hampir sama. Se'toxic' apapun yang namanya keluarga, tetap harus bisa menjadi sandaran saat mereka perlu. Semarah apapun pada mereka , tetap saja tidak bisa lupa bahwa mereka adalah keluargaku. Teringat wajah bapak yang selalu menjadi penolong dalam senyap ketika dibutuhkan. Teringat wajah ibuk yang meskipun sering menyebalkan tapi tetaplah ibuku, manusia yang sudah melahirkan dan merawatku. Meskipun seandainya bisa lari sembunyi dan berpura-pura mati, tetap tidak bisa menafikkan diri bahwa mereka adalah salah satu bagian penting dalam perjalanan hidupku selama ini.
Jadi beginilah aku adanya. Orang boleh menilai egois, keras kepala, durhaka, atau apalah namanya. Tapi apapun ceritanya, mengubah nasib itu harus dimulai dari diri sendiri. Keluargamu boleh saja jadi penyebab keterpurukanmu, tetapi hanya diri sendiri yang bisa membuat bangun kembali dan berjuang mengejar mimpi. Tidak perlu takut dengan berbagai macam 'stempel' yang akan menghambat langkah. Jika jatuh bangun lagi. Jika berulang jatuh ya berulang bangun lagi. Begitu seterusnya sampai mati. Yang namanya keluarga, bisa kita temukan di mana saja. Jadi tetap bertahanlah, dan jangan lupa untuk bahagia.
#sekedarpenginngoceh