Martina Felesia

26 Desember 2024 kemarin adalah wedding anniversary kami yang ke dua puluh lima tahun.  Gimana rasanya hidup bersama orang yang itu-itu saja selama dua puluh lima tahun?  Bosan?  Capek?  Pengin ngilang?  Atau kek mana? Menurutku sih ya biasa saja.  Tidak ada bedanya.  Mau satu tahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, atau dua puluh lima tahun.  Ya begitulah.  Biasa saja!  Yang luar biasa mungkin karena kaminya saja yang bertambah lansia. Uban sudah berserakan di sana sini, dan langkah sudah tidak bisa terlalu lasak lagi 😂

Jadi  kalau ada yang tanya bagaimana rasanya, ya embuh!  Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata pokoknya.  Menurutku rasanya masih sama seperti yang dulu-dulu.  Dia masih selow dan aku masih mudah ngegas kalau ada yang nggak cocok di hati.  Dia selalu kocak dan aku always ngeyelan.  Dia paling sabar sedunia sementara aku paling nggak sabaran sejagat raya.  Dia hobi olah raga dan aku hobi membaca.  Dia nggak suka nonton Netflix sementara aku jagonya nonton film berjilid-jilid seperti buku komik.  Tingginya 180 senti sementara aku tidak tinggi-tinggi meskipun pengin sekali bertambah tinggi.  Sangat tidak sempurna untuk dua manusia yang sungguh sangat berbeda.  Tidak sempurna tapi toh sampai juga di anniversary yang ke dua puluh lima.

Jujur saja terkadang bosan juga menjalani pernikahan.  Pengin balik lagi ke masa muda.  Pengin melajang lagi.  Pengin apa-apa sendiri.  Dan menurutku itu wajar-wajar saja.  Bayangkan saja, hidup bersama dengan orang yang sama selama bertahun-tahun lamanya, bohong saja kalau tidak pernah merasakan bosan.  Dan kurasa dia pasti juga pernah merasakan hal yang sama.  Sudah pasti adalah saat-saat di mana dia bosan punya istri yang bentukannya seperti itu-itu saja.  Nggak bisa dandan, nggak bisa masak, nggak bisa merawat tanaman.  Bisanya cuman komen dan ngeyelan😁 

Tetapi apakah karena bosan terus jadi pengin pisah?  Ya nggaklah!  Justru kami semakin akur kalau sudah sama-sama merasa bosan.  Makin jadi seperti bestie.  Kemana-mana berdua. Ngobrol dibanyakin.  Berdebat dibanyakin.  Jurus melawak dibanyakin.  Jalan-jalan dibanyakin.  Acara ngopi juga dibanyakin.  Bagi kami, dapur adalah tempat favorit untuk saling berbagi keributan entah di pagi atau sore hari.  Berbagi cerita, berbagi duit, berbagi masalah, berbagi solusi.  Iya, dapur yang notabene berhadap-hadapan dengan kamar mandi itu adalah saksi di mana sebenarnya kami adalah dua manusia yang bisa solid luar dalam kalau memang diperlukan dan dibutuhkan.

Terus, selama dua puluh lima tahun itu apakah pernah berantem? Pernah "ribut"? Ya pernahlah!  Sering malah!  Nggak mungkinlah dua puluh lima tahun hidup bersama di bawah satu atap dengan orang yang berbeda kalau tidak pernah berantem.  Sesekali berantem itu perlu dalam menjalani bahtera rumah tangga.  Kalau tidak pernah berantem, carilah cara supaya bisa berantem.  Supaya hidup itu ada seninya.  Tidak lempeng-lempeng saja.  Meskipun berantemnya tidak pakai acara lempar piring dan gelas, tetap saja kalau perlu berantem ya berantem saja.  Kalau ada uneg-uneg dalam rumah tangga baiknya harus segera diungkapkan.  Jangan disimpan dan ditahan-tahan.  Biar nggak naik koleksi asam lambung dan darah tinggi.

Suamiku tidak hobi berantem.  Tapi aku hobi cari masalah.  Kalau ada yang menurutku nggak klop aku pasti bersuara.  Langsung berkotek.  Nggak ada yang kutahan-tahan.  Kalau besok-besok lagi diulangi dengan modelan kesalahan yang sama, dan aku sudah capek berkomentar, ya sudah.  Aku akan diam saja.  Suami langsung tahu itu.  Kalau dalam satu hari itu rumah sunyi senyap tidak satu patah kata pun keluar dari mulut istrinya, itu pertanda sedang perang dunia ketiga 😁

Meskipun berbeda dalam banyak hal, syukurlah kami kompak dalam urusan anak.  Kalau yang satu sedang sibuk marahin anaknya, yang lain diam.  Begitu juga sebaliknya.  Jadi anak-anak tahu di mana dan kapan harus mengubah sikap jika memang diperlukan.  Begitu juga dengan urusan kemanusiaan.  Kami berdua adalah tipe-tipe manusia yang pada dasarnya gak tegaan dan gak enakan.  Gampang menaruh kasihan jika ada yang mengiba-iba minta pertolongan.  Mudah mengulurkan tangan jika ada yang mengharapkan bantuan.  Padahal hal itulah yang membuat kami beberapa kali kena tipu.  Beberapa kali kena janji palsu.  Ya tidak apa-apa sih.  Kalau niatnya mau membantu ya tidak masalah kalau ada juga yang balas menipu.  Itu namanya resiko.  Paling tidak bisa jadi pelajaran ke depannya untuk lebih berhati-hati lagi.

Dua puluh lima tahun menikah dan kami masih tetap seperti kawan lama.  Masih sama seperti kemarin-kemarin.  Mungkin karena aku menikah dengan orang yang tidak suka ribut dan ribet.  Tidak ribut karena dianya selalu tenang dalam situasi apapun meskipun bawaanya terus melucu.  Tidak ribet karena tidak pernah menuntut istrinya untuk bisa ini itu dan harus begini begitu.  Tidak pernah memaksakan sesuatu untuk hal-hal yang menurutnya tidak terlalu penting.  Asalkan anak dan istrinya hepi dia pasti ikut hepi.  Istri nggak masak nggak masalah, bisa beli.  Nggak sempat nyuci ya tinggal kirim ke laundry.  Intinya apa yang bisa dibuat mudah tidak perlu dibuat susah.  Itu saja. 

Jadi, begitulah kurang lebihnya hidup pernikahan selama dua puluh lima tahun ini.  Semoga semakin berlimpah berkat dan menjadi berkat.  Amin.

Label:
0 Responses