Aku kenal beliau sudah cukup lama. Menjadi partner kerja selama belasan tahun dalam suka dan duka. Banyak canda dan tawanya kalau ketemu dia. Nggak ada pernah serius omongannya. Pokoknya ada saja yang membuat tertawa. Terlepas banyak cerita orang tentang dia yang begini begitu, tetapi secara pribadi aku tidak ada masalah dengan beliaunya. Bagiku beliau adalah kawan yang baik. Bisa diajak bekerjasama dan tidak segan memberikan bantuan jika dibutuhkan.
Ketemu terakhir saat itu dia terlihat kurus. Jauh dari perawakannya yang dahulu gempal dan penuh semangat. Aku tidak menanyakan secara langsung apakah beliau sakit atau tidak. Tidak etis menurutku. Tapi dalam hati aku meyakini kalau dia sepertinya sedang sakit. Hanya saja karena dia seolah tidak seperti orang sakit, akhirnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasa saja. Kami hanya bercanda-canda, bernostalgia nostalgia, mengingat semua kegilaan yang pernah ada. Saat itu Pak Naga kebanyakan hanya tersenyum-senyum saja. Tidak terlalu banyak bicara seperti biasanya. Hanya menjawab kalau ditanya. Sisanya hanya mengiyakan apa kata orang sambil menikmati secangkir kopinya kala itu.
Selamat jalan, Pak Naga. Usai sudah sakit yang kau derita. Selamat merayakan lebaran di keabadian. Perlahan tapi pasti kami juga akan pergi ke sana. Entah apakah di sana kita masih bisa tertawa-tawa atau tidak, aku juga tidak tahu. Yang jelas hari ini, kami semua mendoakanmu.