Martina Felesia

Beberapa waktu lalu si Bungsu menginformasikan kalau dia ada pekerjaan di akhir pekan.  Ikut ajakan teman jualan es teh dan makanan lainnya saat acara Cap Go Meh di Jogja.  Bersama beberapa teman satu sekolah mereka bekerja bahu membahu mencari uang tambahan.  Kebetulan dia dapat tugas jadi tukang rebus-rebus air.  Hasilnya dua hari kerja di hari Sabtu dan Minggu mendapatkan upah sebesar Rp225.000.  Menurut emaknya jumlah segitu kecil banget.  Tapi menurut anaknya besar banget.  Habis itu keterusan.  Setiap ada kesempatan kerja part time langsung saja dia iyakan๐Ÿ˜‚

Aku sebagai ibu menyetujui dengan catatan.  Tidak setiap akhir pekan boleh bekerja part time.  Sebelum memutuskan untuk mengambil pekerjaan semua tugas sekolah sudah harus diselesaikan.  Tidak boleh ada yang lewat.  Tidak memaksakan diri  kalau dirasa badan sudah lelah.  Jangan sampai selesai kerja habis itu malah tidak masuk sekolah.  Bapaknya kasih kode keras.  Pokoknya tidak ada kerja-kerja lagi biarpun akhir pekan.  Di Jogja tugasnya sekolah, bukan bekerja.  Kalau nggak mau disuruh pulang saja ke Batam.  Anaknya ngeyel.  Alasannya memang tidak setiap akhir pekan bekerja.  Hanya di akhir pekan yang dia sempat saja.  Orangtuanya akhirnya nyerah.

Sejujurnya aku senang karena si Bungsu sudah mulai ada inisiatif untuk mendapatkan uang dari hasil keringatnya sendiri.  Mulai belajar untuk berani tampil keluar.  Tidak lagi malu menghadapi banyak orang.  Memang dapat duitnya tidak seberapa.  Namanya juga kerja part time.  Tapi paling tidak dia jadi tahu bagaimana rasanya cari uang.  Tahu bahwa duit tidak akan turun sendiri dari langit.  Harus diusahakan.  Harus dicari.  Bukan ditunggu-tunggu sambil berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa.  Jadi tahu bagaimana harus menghargai diri sendiri dan mulai belajar mengatur keuangannya sendiri.

Kadang kepikiran juga benar nggak sih mengajarkan anak cari duit sejak dini?  Pertama-tama memang muncul perasaan tidak enak sebagai orangtua.  Tetapi melihat segi positif yang didapatkan aku jadi lebih tenang.  Selagi tidak mengganggu sekolah, menurutku oke-oke saja.  Daripada akhir pekan malah dipakai nongkrong-nongkrong tidak jelas lebih baik bergaul dengan kawan-kawan yang memang hobinya cari cuan.  Menyomot motto orang pintar yang katanya,"Lingkup pergaulan yang positif otomatis akan menularkan hal yang juga positif".  

Aku jadi ingat zaman si Sulung dulu sewaktu masih kuliah.   Dia juga sering ambil kerja part time.  Pagi mengikuti perkuliahan.  Sore nyambi jadi barista.  Pulang kerja masih lanjut mengerjakan tugas kuliah.  Terkadang menerima tawaran endorse untuk jadi model jualan.  Sekali endorse dapat upah tiga ratus ribuan berikut barang yang di-endorse.  Tapi dia hepi.  Bisa cari uang tambahan sendiri dari hasil kerja kerasnya.  Dan berbagai macam pengalaman kerja itu pada akhirnya juga berguna untuk mendapatkan pekerjaan.  Lulus langsung kerja.

Jadi intinya adalah, selagi masih muda, mencoba hal-hal baru itu perlu.  Pengalaman, sekecil apapun bentuknya, akan menjadi pelajaran yang berharga.  Yang penting adalah, berani mencoba.  Selain itu juga berani membuang gengsi dan rasa malu.  Jangan terlalu hirau apa kata orang.  Selagi tidak melanggar aturan, tidak menyalahi orang lain, segala hal yang baik, boleh dan pantas untuk dicoba.  Ya....meskipun hasilnya tidak seberapa, tetapi selagi bisa tidak ada yang salah, kan?!

Label: 0 komentar |
Martina Felesia

Duluuuu....setiap memandang wajah anak-anakku saat mereka terlelap, selalu saja menimbulkan rasa bahagia sekaligus rasa bersalah.  Bahagia karena mereka sudah jadi berkat dan hadir dalam kehidupan kami. Merasa bersalah karena hanya bisa bertemu saat pagi dan sore hari, dalam waktu yang juga serba terbatas, karena alasan pekerjaan.  Kadang malah muncul pikiran, bener nggak sih keputusanku untuk punya anak waktu itu?  Kesannya kok seperti hanya mau punya anak tapi tidak mau bertanggung jawab๐Ÿ˜

 Itu sebabnya aku selalu mengambil ART yang pulang hari.  Tidak menginap di rumah.  Pagi datang, sore pulang.  Tujuannya supaya anak-anak tetap bisa menjadi prioritas dan tetap berada dalam pengawasan kami sebagai orangtua.  Meskipun bapak ibunya bekerja, tidak ada alasan bahwa mereka kurang perhatian.  Jangan sampai anak-anak yang orangtuanya bekerja, malah memiliki ketergantungan kepada pembantu.

Jadi sepenat apapun diriku dulu, selalu kusempatkan bangun pagi, untuk memasak bekal sekolah sekaligus menyiapkan makan mereka sepulang sekolah.  Pulang kerja selalu menyempatkan diri untuk mengecek buku penghubung dari sekolah, menanyakan ada PR atau tidak, ada tugas sekolah atau tidak, ada masalah di sekolah atau tidak.  Intinya aku dan suami berusaha untuk selalu hadir untuk mereka, bagaimanapun cara dan bentuknya. 

Berkaca dari pengalamanku sebagai ibu pekerja, aku selalu menasihatkan begini kepada anak-anakku:

 ๐ŸŽˆSebelum punya pacar, bahagiakan diri sendiri dulu.  Jangan karena orang lain punya pacar terus ngebet ingin punya pacar.  Yang namanya pacar itu bisa huka-huka.  Manis saat pendekatan, toxic saat sudah jadian.  Belajar dulu yang bener.  Perjuangkan dulu cita-cita.  Selagi uang saku masih menunggu hasil transferan dari orang tua, tunda dulu keinginan untuk punya pacar.  Nanti kasihan pacarmu.  Masih muda sudah disuruh mikir yang rumit-rumit karena harus menenggang perasaan anak orang lain.

๐ŸŽˆSebelum menikah, bahagiakan diri sendiri dulu. Bekerja, cari duit, jalan-jalan ke tempat baru, beli barang-barang sendiri.  Jangan sampai menikah hanya karena iri dan sebal dengan omongan orang lain karena mereka sudah punya pasangan dan kamu belum.  Pokoknya jangan sampai menikah malah membuat menderita.  Pastikan pasanganmu adalah orang yang benar-benar mencintaimu.  Orang yang menerima segala kekuranganmu, bukan hanya kelebihanmu.  Khusus untuk anak perempuan kutambahkan, tetaplah bekerja meskipun sudah bersuami.  Dan jangan pernah mau menikah dengan orang yang melarangmu untuk bekerja.  Karena bekerja akan membuatmu tetap bisa bernafas di kala sesak menghempas.  Sekaya-kayanya suami atau istrimu, tetap lebih baik kalau dua-duanya saling bekerjasama dalam menghasilkan uang, karena pada akhirnya hidup dan menjalani pernikahan akan membutuhkan banyak uang.

๐ŸŽˆSebelum memutuskan punya anak, bahagiakan diri sendiri dulu.  Sembuhkanlah diri sendiri dulu.  Diskusikan dengan pasangan, mau tidak punya anak?  Kira-kira bisa tidak merawat dan mendidik anak?  Kira-kira bisa tidak mencintai dan menyayangi mereka sepenuh hati?  Kira-kira bisa tidak mencukupi segala kebutuhannya, secara jasmani dan rohani?  Kira-kira bisa tidak meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah mereka, di tengah segala kepenatan dan kesibukan pekerjaan?  Tanyakan juga kepada pasangan, maukah bekerjasama merawat anak jika ada?  Bekerjasama artinya mengurus dan merawat anak harus dilakukan bersama-sama.  Bikinnya bersama ya merawatnya harus bersama.  Mendidik juga demikian adanya.  Jangan yang satu habis tenaga sementara yang lainnya leha-leha.  Jangan!  

๐ŸŽˆDan yang paling penting tanyakan juga kepada pasangan, bagaimana kalau seandainya tidak punya anak?  Tanyakan di awal supaya tidak menjadi permasalahan di belakang.  Kalau tujuan utamanya menikah hanya karena ingin punya anak, kusarankan jangan menikah dengan dia.  Kalau tujuan utamanya menikah karena ingin saling membahagiakan baru pertimbangkan.  Orang yang tujuan utamanya menikah karena ingin punya keturunan akan mudah meninggalkan dengan menggunakan alasan itu.  Orang yang tujuan utamanya menikah karena ingin saling membahagiakan akan bertahan selamanya apapun ceritanya.

Menurutku, membahagiakan diri sendiri itu perlu, sebelum mengambil berbagai keputusan dalam hidup.  Karena satu kesalahan yang dibuat tanpa pemikiran panjang, akan menjadi racunmu sepanjang perjalanan.  Membahagiakan diri sendiri adalah salah satu cara untuk menyembuhkan luka dalam jiwa.  Kalau diri sendiri sudah bahagia, maka jalan untuk membahagiakan orang lain akan menjadi mudah.  Kalau diri sendiri sudah sembuh, maka jalan untuk mencintai dan menerima orang lain sebagai pasangan tidak akan jadi masalah.  Jangan sampai pilihan-pilihan yang terlalu dipaksakan membawamu masuk ke dalam jurang.  Lebih baik tidak menikah dan tidak memiliki keturunan, kalau belum bisa mencintai diri sendiri, karena pada akhirnya mencintai diri sendiri adalah jalan untuk bisa mencintai orang lain yang notabene bukanlah siapa-siapa.

Demikianlah sedikit permenungan hari ini sebelum  melanjutkan untuk setrika.  Semoga bukan hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri ๐Ÿ˜‚ 

NB: nasihat ini khusus untuk anak-anakku. Love you all ๐Ÿ’“

Label: 0 komentar |
Martina Felesia

Waktu memutuskan untuk menyekolahkan anak-anak di luar kota, banyak bermunculan komentar seperti ini:"Nggak kasihan ya, Bun? Kan mereka masih SMA.  Kok tega sih masih SMA harus  jauh-jauh dari rumah.  Kok nggak nunggu mereka kuliah saja?!"

Aku sempat tercenung panjang.  Mikir.  Iya ya, kok aku tega banget ya?  Tapi setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya aku tidak perlu menyesal menyekolahkan mereka jauh dari rumah.  Kalau dibilang tega ya memang harus tega.  Kasihan, iya juga!  Tetapi akan lebih kasihan lagi kalau pada saatnya nanti mereka tidak terbiasa untuk berpisah dari orang tua.  Akan lebih nggak tega lagi kalau pada suatu saat nanti mereka tidak terbiasa untuk hidup mandiri, dan malah keteteran saat harus memulai semuanya sendiri.

Sekarang anak kedua sudah masuk perguruan tinggi.  Si Bungsu baru naik kelas dua SMA. Selama beberapa tahun ini keduanya sudah menjalani dan mengalami bagaimana rasanya hidup di luar kota, jauh dari orang tua. Berdua mereka tinggal di rumah kontrakan yang tentu saja biaya sewanya tidak bisa dibilang murah untuk ukuran tinggal di pusat kota.  Biaya sekolahnya juga tidak murah.  Tetapi demi harapan ke depan yang lebih baik, mau tidak mau aku dan suami memang harus tega dari sekarang.

Sekarang ini kalau dilihat lumayan jugalah hasilnya.  Abang dan adik sudah jauh lebih mandiri.  Apa-apa harus mikir sendiri, dikerjakan sendiri, meskipun harus secara bergantian.  Kalau dulu di rumah ada yang membantu, sekarang tidak lagi.  Sekarang mereka lebih terbiasa untuk menyapu, mengepel, memasak, mencuci, dan tentu saja mengatur keuangan sendiri.  Sudah pandai untuk memikirkan dan mengatur bagaimana caranya dengan duit sekian bisa bertahan hidup berdua selama sebulan.  Sudah tahu tempat- tempat belanja murah dan bagaimana cara berhemat menggunakan sistem Food Prep yang dulu sempat kuajarkan waktu aku mendampingi mereka.  Kalau tidak dipaksa, belum tentu mereka jadi seperti sekarang ini.

Jadi apa tugasku sekarang sebagai emaknya?  Ya mengawasi mereka dari jauhlah.  Menggunakan unsur percaya saja.  Toh sekarang ini sudah banyak alat komunikasi canggih yang bisa dipakai.  Sewaktu-waktu bisa video call.  Kalau kangen tinggal undang semua untuk bergibah di WA Grup keluarga, yang anggotanya hanya lima.  Mudah!  Lagipula kalau ada masalah anak-anak pasti 'bising'nya kepada kami orang tuanya.  Jadi bagiku secara pribadi, jarak jauh tidak jadi masalah yang berarti.

Pada prinsipnya adalah, kita harus percaya kepada mereka.  Percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.  Kalau tidak baik harus segera memberi kabar secepat mungkin tanpa ditunda-tunda.  Bagiku, kepercayaan adalah unsur yang sangat penting untuk menjaga anak-anak, di manapun mereka berada.

Semoga semua diberkati dengan berlimpah-limpah cinta selagi kami bisa memberikannya.   Amin.

Label: 0 komentar |
Martina Felesia

26 Desember 2024 kemarin adalah wedding anniversary kami yang ke dua puluh lima tahun.  Gimana rasanya hidup bersama orang yang itu-itu saja selama dua puluh lima tahun?  Bosan?  Capek?  Pengin ngilang?  Atau kek mana? Menurutku sih ya biasa saja.  Tidak ada bedanya.  Mau satu tahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, atau dua puluh lima tahun.  Ya begitulah.  Biasa saja!  Yang luar biasa mungkin karena kaminya saja yang bertambah lansia. Uban sudah berserakan di sana sini, dan langkah sudah tidak bisa terlalu lasak lagi ๐Ÿ˜‚

Jadi  kalau ada yang tanya bagaimana rasanya, ya embuh!  Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata pokoknya.  Menurutku rasanya masih sama seperti yang dulu-dulu.  Dia masih selow dan aku masih mudah ngegas kalau ada yang nggak cocok di hati.  Dia selalu kocak dan aku always ngeyelan.  Dia paling sabar sedunia sementara aku paling nggak sabaran sejagat raya.  Dia hobi olah raga dan aku hobi membaca.  Dia nggak suka nonton Netflix sementara aku jagonya nonton film berjilid-jilid seperti buku komik.  Tingginya 180 senti sementara aku tidak tinggi-tinggi meskipun pengin sekali bertambah tinggi.  Sangat tidak sempurna untuk dua manusia yang sungguh sangat berbeda.  Tidak sempurna tapi toh sampai juga di anniversary yang ke dua puluh lima.

Jujur saja terkadang bosan juga menjalani pernikahan.  Pengin balik lagi ke masa muda.  Pengin melajang lagi.  Pengin apa-apa sendiri.  Dan menurutku itu wajar-wajar saja.  Bayangkan saja, hidup bersama dengan orang yang sama selama bertahun-tahun lamanya, bohong saja kalau tidak pernah merasakan bosan.  Dan kurasa dia pasti juga pernah merasakan hal yang sama.  Sudah pasti adalah saat-saat di mana dia bosan punya istri yang bentukannya seperti itu-itu saja.  Nggak bisa dandan, nggak bisa masak, nggak bisa merawat tanaman.  Bisanya cuman komen dan ngeyelan๐Ÿ˜ 

Tetapi apakah karena bosan terus jadi pengin pisah?  Ya nggaklah!  Justru kami semakin akur kalau sudah sama-sama merasa bosan.  Makin jadi seperti bestie.  Kemana-mana berdua. Ngobrol dibanyakin.  Berdebat dibanyakin.  Jurus melawak dibanyakin.  Jalan-jalan dibanyakin.  Acara ngopi juga dibanyakin.  Bagi kami, dapur adalah tempat favorit untuk saling berbagi keributan entah di pagi atau sore hari.  Berbagi cerita, berbagi duit, berbagi masalah, berbagi solusi.  Iya, dapur yang notabene berhadap-hadapan dengan kamar mandi itu adalah saksi di mana sebenarnya kami adalah dua manusia yang bisa solid luar dalam kalau memang diperlukan dan dibutuhkan.

Terus, selama dua puluh lima tahun itu apakah pernah berantem? Pernah "ribut"? Ya pernahlah!  Sering malah!  Nggak mungkinlah dua puluh lima tahun hidup bersama di bawah satu atap dengan orang yang berbeda kalau tidak pernah berantem.  Sesekali berantem itu perlu dalam menjalani bahtera rumah tangga.  Kalau tidak pernah berantem, carilah cara supaya bisa berantem.  Supaya hidup itu ada seninya.  Tidak lempeng-lempeng saja.  Meskipun berantemnya tidak pakai acara lempar piring dan gelas, tetap saja kalau perlu berantem ya berantem saja.  Kalau ada uneg-uneg dalam rumah tangga baiknya harus segera diungkapkan.  Jangan disimpan dan ditahan-tahan.  Biar nggak naik koleksi asam lambung dan darah tinggi.

Suamiku tidak hobi berantem.  Tapi aku hobi cari masalah.  Kalau ada yang menurutku nggak klop aku pasti bersuara.  Langsung berkotek.  Nggak ada yang kutahan-tahan.  Kalau besok-besok lagi diulangi dengan modelan kesalahan yang sama, dan aku sudah capek berkomentar, ya sudah.  Aku akan diam saja.  Suami langsung tahu itu.  Kalau dalam satu hari itu rumah sunyi senyap tidak satu patah kata pun keluar dari mulut istrinya, itu pertanda sedang perang dunia ketiga ๐Ÿ˜

Meskipun berbeda dalam banyak hal, syukurlah kami kompak dalam urusan anak.  Kalau yang satu sedang sibuk marahin anaknya, yang lain diam.  Begitu juga sebaliknya.  Jadi anak-anak tahu di mana dan kapan harus mengubah sikap jika memang diperlukan.  Begitu juga dengan urusan kemanusiaan.  Kami berdua adalah tipe-tipe manusia yang pada dasarnya gak tegaan dan gak enakan.  Gampang menaruh kasihan jika ada yang mengiba-iba minta pertolongan.  Mudah mengulurkan tangan jika ada yang mengharapkan bantuan.  Padahal hal itulah yang membuat kami beberapa kali kena tipu.  Beberapa kali kena janji palsu.  Ya tidak apa-apa sih.  Kalau niatnya mau membantu ya tidak masalah kalau ada juga yang balas menipu.  Itu namanya resiko.  Paling tidak bisa jadi pelajaran ke depannya untuk lebih berhati-hati lagi.

Dua puluh lima tahun menikah dan kami masih tetap seperti kawan lama.  Masih sama seperti kemarin-kemarin.  Mungkin karena aku menikah dengan orang yang tidak suka ribut dan ribet.  Tidak ribut karena dianya selalu tenang dalam situasi apapun meskipun bawaanya terus melucu.  Tidak ribet karena tidak pernah menuntut istrinya untuk bisa ini itu dan harus begini begitu.  Tidak pernah memaksakan sesuatu untuk hal-hal yang menurutnya tidak terlalu penting.  Asalkan anak dan istrinya hepi dia pasti ikut hepi.  Istri nggak masak nggak masalah, bisa beli.  Nggak sempat nyuci ya tinggal kirim ke laundry.  Intinya apa yang bisa dibuat mudah tidak perlu dibuat susah.  Itu saja. 

Jadi, begitulah kurang lebihnya hidup pernikahan selama dua puluh lima tahun ini.  Semoga semakin berlimpah berkat dan menjadi berkat.  Amin.

Label: 0 komentar |
Martina Felesia
28 Desember 2024
Georgetown - Penang Central Butterworth

Check out dari hotel jam 12 siang sementara jadwal bis agak malam.  Ada jedah kurang lebih 7 jam.  Lagi-lagi  karena kehabisan tiket.  Tiket pesawat kalau dadakan harganya selangit meskipun hanya dari Penang ke Johor.  Alhasil ya naik bis lagi.  Masak backpackeran naik pesawat sih? (kalau ini sepertinya modus biar nggak dibilang turis kere saja ya?)๐Ÿ˜‚

Menghabiskan waktu menunggu jadwal bis akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan sebentar ke beberapa tempat.  Untuk sementara tas-tas dititipkan di hotel, dibantu oleh mbak-mbak resepsionis yang sangat welcome.  Jalan ke pasar lagi , terus lanjut mampir sebentar ke The Top Penang.  Melipir lagi ke Parangin Mall.  Oh ternyata begini, ternyata begitu.   Jalan, komentar, makan, jalan lagi.  Capek, balik lagi ke hotel untuk mengambil semua tas.  Say goodbye sama mbak resepsionis yang baik hati dan pesan Grab menuju ke Terminal Ferry Georgetown.

Iya, bis yang kami pesan nantinya akan berangkat dari Penang Central di Butterworth menuju Johor Baru.  Kami memutuskan untuk naik bis dari sana karena berencana untuk melanjutkan jalan-jalan sebentar di Butterworth. Selain itu kami juga ingin mencoba rasanya menyeberang dari Georgetown menuju Butterworth menggunakan ferry.  Biar tahu saja.  Jadi seandainya kapan-kapan harus pergi sendiri sudah nggak kagok lagi.  

Sampai di terminal ferry agak bingung-bingung sebentar harus masuk lewat mana.  Tanya-tanya sebentar, mengikuti rute jalan yang ditunjukkan dan sampailah di konter tiket.  Beli tiket seharga RM1.5 per orang.  Total RM6 untuk 4 orang.  Kubayar saja tunai meskipun di situ tertulis tidak menerima pembelian secara cash.  Petugasnya oke saja ternyata.  Mungkin karena melihat wajahku yang memelas ya makanya diokekan saja๐Ÿ˜ Ferry datang dan pergi setiap tiga puluh menit sekali.  Jadi tidak perlu takut ketinggalan karena dia akan beroperasi sampai jam 10 malam.

Acara menyeberangnya ternyata hanya sebentar saja.  Tidak sampai 15 menit naik ferry sudah sampai di Penang Central Mall saja.  Terminal bis dan terminal ferry di Butterworth memang menyatu dengan Penang Central Mall.  Satu tempat saja.  Turun dari ferry tinggal mengikuti rute arah keluar bersama penumpang lainnya.  Jadi kalau mau naik bis tinggal menuju terminal di dalam mall yang terletak di lantai dasar.  Kalau mau melanjutkan perjalanan tinggal keluar saja dari mall.

Ternyata ya begitulah.  Rencana jalan-jalan seputar Butterworth harus batal karena ternyata hujan keburu datang.  Akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu di dalam mall.  Makan, keliling-keliling mall, makan lagi, duduk-duduk di ruang tunggu sambil menunggu saatnya boarding.  Begitu diumumkan untuk boarding langsung cus turun ke tempat nunggu bisnya di lantai dasar. 

Yang bikin kesel dan gondok, ternyata bis yang ditunggu molor selama berjam-jam.  Mau marah tidak bisa karena bis yang lain juga demikian.  Tidak tahu apa penyebabnya yang jelas banyak sekali bis yang delayed.  Mungkin karena hujan atau karena ada kecelakaan kurang tahu juga.  Tidak ada pengumuman yang pasti.  Tahunya delayed gitu saja.  Tampilan di layar monitor hampir semua bis ditunda keberangkatannya.  Alhasil bis yang harusnya berangkat jam 6 sore jadinya baru bisa berangkat jam 12 tengah malam.  Bayangkan, harus menunggu dari jam 6 sore sampai jam 12 malam tanpa kepastian.  Mau nggak nunggu takutnya bisnya datang.  Mau menunggu rasanya kok lama banget.  Mau nggak mau ya harus menunggulah!  Lagipula kan kawannya yang telat juga banyak. Jadi ya terpaksa oke oke saja.  Kalau di Indonesia mungkin sudah ada yang gebrak-gebarak meja tuh saking lamanya nunggu.  Tapi kan ini di negara orang, ya kan? ๐Ÿ˜

 29 Desember 2024
Penang Central - Batam

Selama perjalanan pulang semua terdiam.  Tidak ada lagi energi untuk sekedar minum, makan apalagi foto-foto.  Ketemu kursi langsung disetel posisi tidur dan langsung terlelap.  Bangun sebentar waktu bis mampir di TBS Kuala Lumpur.  Ada juga jedah waktu ketika penumpang diberi kesempatan untuk pipis atau buang hajat.  Kurang lebih 9 jam  lamanya perjalanan yang harus ditempuh dari Penang ke Johor Baru.  Capek? Sudah pasti!  Yang Gen Z saja capek apalagi yang Gen level kami.  Beruntungah tidak jadi booking bis yang dari Penang langsung Singapore meskipun rencana sebelumnya begitu.  Ternyata jumlah orang yang kluyuran di akhir tahun banyak banget.  Membayangkan harus antri di imigrasi Malaysia dan Singapore saja sudah capek jadi terpaksa harus dicancel rencana yang itu.

Sampai di Terminal Larkin Johor langsung mencari toilet untuk cuci muka dan  bersih-bersih.  Lanjut menyempatkan diri beli oleh-oleh untuk kawan yang dititipin jaga Klepon anjing di rumah kami.  Istirahat sebentar kemudian pesan Grab menuju Pelabuhan Ferry Stulang Laut.  Pesan tiket ferry yang available  dan melanjutkan leyeh-leyeh di pelabuhan setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk makan.  Rencananya sampai Batam akan langsung pulang dan tidak ingin belok kemana-mana lagi.  Masing-masing orang punya pemikiran yang sama: ingin melanjutkan tidur!  

Selesai.

Begitulah cerita perjalanan libur Natal kami dari tanggal 25 sampai 29 Desember 2024 kemarin.  Capek sih, tapi secara keseluruhan bisa dibilang menyenangkan.  Ya senang saja karena masih bisa punya waktu jalan bersama anak-anak.  Belum tentu seterusnya bisa seperti itu.  Ke depannya mereka pasti punya lingkup pergaulan sendiri.  Kalau masih mau jalan sama kami ya syukur, kalau nggak mau ya bagi kami bukan suatu masalah.  Tugas kami hanya mencoba untuk menjalankan tugas sebagai orangtua selagi bisa.  Mungkin kenangan seperti inilah yang akan mereka ingat sampai mereka tua nanti.  

Namun yang lebih penting lagi adalah, semoga anak-anak, di manapun mereka berada selalu sehat dan hidup dalam berkat dan perlindungan tangan Tuhan. Amin.

Martina Felesia

Melanjutkan cerita perjalanan dari Kuala Lumpur ke Penang yang tidak terlalu ribet tetapi ternyata bikin capek, karena yang pergi backpackeran adalah gerombolan Gen Z dan Gen Menuju Jompo ๐Ÿ˜

27 Desember 2024
Kuala Lumpur - Penang

Pagi-pagi bangun hanya untuk mandi, siap-siap, dan seduh kopi di hotel.  Yang tidak bisa skip sarapan dengan semangat mengunyah roti pagi-pagi.  Yang biasa melewatkan sarapan ya tetap berusaha untuk sarapan walau hanya ala kadarnya minimal supaya perut ada isi.  Jam 8 tet waktu setempat langsung check out dan pesan Grab menuju terminal bis.  Nggak sampai seperempat jam sudah sampai.  Masih ada waktu beberapa menit untuk duduk-duduk dan cari camilan sembari menunggu bis datang.

Rencananya sih pengin ke Penang naik kereta cepat.  Tapi ternyata seminggu sebelumnya sudah full booked.  Mau nggak mau harus naik bis meskipun waktunya sedikit lebih lama dibandingkan kalau naik kereta cepat.  Untung bisnya bagus, bersih, dan wangi.  Kami pesan tempat paling belakang supaya bisa duduk lebih nyaman.  Biasanya pesan tempat duduk paling depan kalau perjalanan pagi supaya bisa menikmati pemandangan dengan lebih leluasa.  Tapi sekali lagi, jadwal bis yang diinginkan ternyata sebagian sudah terisi di tanggal dan jam segitu.  Ya iyalah, yang pengin pergi ke Penang kan bukan hanya kami saja ๐Ÿ˜‚

Sampai Penang sudah sorean.  Sebelumnya ada kecelakaan kecil di jalan raya arah menuju Penang.  Kecelakaan kecil tapi melibatkan beberapa kendaraan.  Jadinya macet panjang.  Sampai di kota Georgetown mau menuju hotel juga demikian.  Ada kecelakaan kecil yang juga melibatkan beberapa kendaraan.  Jadinya macet lagi.  Padahal harga Grabnya cuman RM12 saja dari teminal Sunga Nibong menuju hotel.  Tapi jarak tempuhnya hampir satu jam lebih.  Kasihan banget sama sopir Grabnya.  Nggak enak jadinya meskipun itu murni karena situasi dan kondisi yang memang tidak bisa diprediksi.

Karena liburannya serba mepet, setelah check in kami langsung keluar untuk jalan-jalan dan cari makan.  Si Bungsu, seperti biasa mengeluh sakit kepala dan tidak mau ikutan jalan keluar.  Ya sudah, karena dia memang demam akhirnya kami hanya jalan bertiga.   Sebelum keluar hotel, nyomot dulu peta kota Georgetown di meja resepsionis supaya tidak tersesat.  Tapi lama-lama bingung juga jalan sambil baca peta.  Akhirnya ya jalan saja ikut kata hati.  Kalau ada rombongan turis lain kami ikut saja.  Yang penting jalan-jalan.  Pas sudah capek barulah mencari tempat makan.  Dapat chicken rice yang rasanya uenaakk banget.  Harga pas dan rasanya luar biasa.  Ya senanglah pastinya! ๐Ÿ˜‹

Urusan makan kelar kembali ke hotel sambil bawa bungkusan makan dan obat untuk adik. Malamnya melanjutkan jalan-jalan lagi.  Tapi kali ini hanya aku dan suami yang masih excited.  Yang dua lagi lebih memilih untuk rebahan dengan alasan kecapekan.  Yo wes!  Kami jalanlah walau hanya berdua.  Padahal kakiku rasanya juga sudah gempor.  Tapi melewatkan jalan-jalan di Georgetown yang luasnya cuman seuprit ini memang sayang banget rasanya.  Apalagi tempat menginap memang ada di pusat kota.  Kemana-mana tinggal jalan kaki doang sebenarnya.  Lagipula kota Georgetown sedikit banyak mengingatkanku akan Malaka.  Kota kesayangan kalau berkunjung ke Malaysia.

Puas jalan malam-malam langsung pulang ke hotel.  Mandi, nyeduh kopi, dan langsung terkapar.  Capek makkkk..!

28 Januari 2024

Pagi-pagi aku sudah membangunkan suami.  Jam 6 pagi waktu setempat yang kalau di Batam masih jam 5 pagi.   Anak-anak masih molor.  Cuaca mendung tapi aku antusias untuk keluar karena pengin explore kota Georgetown di pagi hari.  Suami oke-oke saja karena mikirnya belum tentu juga bisa balik ke situ lagi.  Jadi keluarlah kami berdua dengan semangat empat lima.  Tidak lupa sebelum pergi jalan-jalan  nenteng brosur peta.  Buat apa?  Ya buat jaga-jaga kalau tidak tahu jalan pulanglah. 

Berdasarkan peta yang kubawa, sampailah kami di Penang Diocecan Muzeum, yang di sebelahnya ada gereja Katolik Church of The Assumption  yang masih berfungsi untuk beberapa kegiatan.  Agak lurus lagi ada gereja Anglican yang sudah tinggal bekas-bekasnya saja.  Melipir lebih jauh lagi sampailah kami di Padang Kota Lama (Esplanade).  Duduk-duduk sebentar di situ menikmati laut, ngoceh-ngoceh berdua, terus lanjut jadi pothograpernya Pak Djokowi.  Ya kerjaanku moto-motoin dia saja.  Karena aku males difoto balik sama dia karena kalau dia yang moto  hasilnya pasti embuh!

Puas jalan sampai kaki pegal, balik ke hotel.  Bikin kopi, terus ngoprak-oprak anak-anak untuk keluar cari sarapan.  Ternyata di samping hotel ada tempat sarapan yang kalau pagi ramainya luar biasa.  Namanya Kheng Pin Kafe.  Kemarin sore tutup karena ternyata jam bukanya hanya dari jam 6 pagi sampai jam 2 siang.   Pilihan menunya campur-campur.  Kebanyakan sih non halal ya.  Pesannya pakai bahasa tarzan.  Tinggal nunjuk-nunjuk saja gambarnya karena semuanya pakai tulisan mandarin.  Nggak ngerti aku.  Untung ada gambar menunya dan pegawainya sabar-sabar.  Mereka tahu kalau wajah kami bukan wajah oriental.  Jadi mereka sangat helpful dan pengertian๐Ÿ˜‚

Kafe Kheng Pin
Dari keseluruhan menu campur-campur yang kami pesan rasanya memang bolehlah.  Ada yang pesan mie goreng seafood, nasi goreng seafood, nasi lemak, dan aku sendiri entah apalah namanya yang kupesan.  Main tunjuk-tunjuk sajalah daripada bingung.  Sesekali pakai bahasa Inggris yang dibalas dengan bahasa Inggris logat Mandarin.  Ya sudah, klop sudah!  Sama-sama tertawa kalau kurang ngerti.  Karena sepertinya hanya kami pengunjung yang tampangnya nggak meyakinkan.  Antara halal dan haram begitulah! ๐Ÿ˜‚

Puas sarapan jalan kaki lagi cari oleh-oleh.  Padahal ingin pergi ke Penang Hill.  Hanya saja karena stamina anak-anak agak kurang bagus akhirnya batal.  Lagipula jam 12 siang sudah harus check out.  Hari ini waktunya pulang karena Senin sang bapak sudah waktunya masuk kerja.  Cutinya sudah habis.  Minimal esok harinya, hari Minggu, sudah harus ada di rumah biar Senin tidak terlalu capek. 

Ternyata urusan oleh-oleh ini sempat bikin ribet dan ribut juga. Aku malas bawa oleh-oleh karena malas repot nenteng-nentengnya, sementara Pak Djokowi semangat beli.  Setelah beberapa saat sibuk eyel-eyelan akhirnya disepakati beli seperlunya saja.  Selain mengurangi beban, juga ingin lebih fokus berlibur tanpa sibuk memikirkan mau membawa oleh-oleh untuk siapa.  Biar nggak stress.

Tidak terasa sudah waktunya untuk pulang.  Beres-beres tas yang sepertinya makin bertambah berat saja isinya.  Mandi, berbenah, ngecek sana sini biar tidak ada yang tertinggal di penginapan.  Jam 12 tet langsung check out.

(Bersambung)

Martina Felesia


Meskipun agak terlambat kurang lebih satu bulan, amat disayangkan kalau liburan Natal kemarin tidak dituliskan.  Nanti keburu lupa.  Maklum, antara keinginan dan kenyataan itu terkadang sering njomplang.  Nggak sinkron.  Jadi selagi masih ada yang bisa diingat, akan kutulis.  Biar kalau sewaktu-waktu mulai pikun, berharap masih ada yang bisa dibaca-baca.

Jadi, anak kedua dan ketiga memutuskan pulang ke Batam saat liburan.  Selain memang berencana untuk libur di rumah, juga karena ada sesuatu yang ingin diurus.  Si Bungsu sudah saatnya punya KTP.  Supaya mudah kalau mau mengurus sesuatu yang berkaitan dengan dokumen administrasi pemerintah. Jadi singkat cerita pulanglah mereka. Untuk pertama kalinya menempuh perjalanan Jogja Batam tanpa didampingi orang tua.  Selamat sampai tujuan tanpa perlu ada drama-drama.

25 Desember 2024 
Batam - Kuala Lumpur

Selesai tugas koor Natal pagi yang jam 10.00WIB langsung pulang tanpa ikut foto-foto dengan anggota koor lainnya.  Selain nggak hobi berfoto-foto di gereja, memang harus cepat-cepat pulang untuk mempersiapkan keperluan liburan.  Rencananya mau melipir sebentar ke negara tetangga, menjenguk si Sulung yang memang bekerja di sana.  Karena kakak liburnya hanya dua hari, maka kami liburannya harus fleksibel, sat set dan tentu saja ditempuh ala backpackeran.  Selain irit juga lebih sehat karena akan banyak jalan dan lari-lari anjing tentunya.  Selain itu juga lebih bisa menikmati pemandangan selama perjalanan dibandingkan kalau naik pesawat.

Karena mengambil jadwal ferry yang terakhir, dan terlambat berangkat satu jam, maka sampai di Johor tentu saja sudah gelap.  Imigrasi yang biasanya lancar, menjadi agak tersendat karena banyaknya manusia yang masuk ke Malaysia.  Ada yang memang mau pulang karena penduduk lokal, dan ada yang seperti kami, turis tetangga sebelah yang hanya sekedar mau melancong sebentar.  Tumben banyak orang.  Sepertinya karena liburan sindrom ya.  Pas tanggal merah dan tanggal libur panjang karena mau menuju ke penutupan tahun.  Pantas antriannya mengular tidak seperti biasanya.

Aku agak panik juga melihat antrian yang tidak biasanya.  Maklum, bis sudah terlanjur di-booking.  Kalau terlambat datang alamat hangus tiketnya.  Kalau dapat petugas imigrasi yang sudah penat, urusan imigrasi bisa sat set.  Kalau dapat petugas yang masih bersemangat kerja meskipun malam sudah larut, sudah pasti akan banyak pertanyaan.  Beruntung kami berempat bisa lolos dengan mudah.  Hanya dicocokkan antara muka dan foto passport terus oke.

Urusan imigrasi selesai dilanjutkan dengan urusan harus kejar jadwal bus ke Terminal Larkin Johor Baru.  Kalau nunggu pesan Grab gak akan bisa karena waktunya sudah sangat mepet.  Akhirnya naik taksi tanpa argo dan tanpa tawar menawar.  RM30 saja.  Dua kali lipat dari harga Grab.  Tapi masih murahlah dibandingkan waktu berharga yang memang akan dikejar. Untung bapak taksinya itu tahu kalau kami buru-buru.  Tanpa banyak cakap langsung ngebut kayak Schumacher.  Gak sampai 15 menit sudah sampai di terminal.

Sampai di terminal kami berlarian kayak orang kesurupan menuju konter check in.  Tentu saja sambil ngos-ngosan-lah.  Tepat jam 22.00 waktu Malaysia.  Di konter langsung ditolak untuk check in dan langsung disarankan masuk tanpa boarding pass untuk mencari lokasi busnya mangkal.  Akhirnya kami pontang panting masuk ke dalam ruang tunggu tanpa boarding pass.  Hanya menunjukkan bukti beli tiket online langsung dibukakan pintu sama penjaganya.  Sampai di dalam pontang-panting lagi menuju tempat bus menunggu sambil beberapa kali bertanya ke petugas security kalau tidak tahu arah.  Dan syukurlah, busnya ternyata masih setia menunggu penumpang.  Selain kami, rupanya ada beberapa penumpang lain yang juga harus ditunggu.  Mungkin sama-sama telat ferry dan ngantri di imigrasi seperti kami.  Sampai di dalam bis, kami saling memandang dan tertawa lega.  Akhirnya berhasil juga naik bis tanpa ditinggal.

Mungkin karena lelah berlari-larian sambil memanggul tas carrier, maka sepanjang jalan hanya bisa tidur.  Tidak ada waktu lagi untuk menikmati pemandangan.  Lagipula pemandangan apa yang bisa dilihat  tengah malam?  Hanya lampu jalan dan kegelapan.  

Tanpa terasa jam 2.30 Waktu Malaysia sudah sampai TBS Kuala Lumpur.  Perjalanan yang biasanya ditempuh kurang lebih 5 jam kalau siang hari sekarang ditempuh hanya 3.5 jam. Kepagian! Padahal bilang sama kakak paling sampai sekitar jam 3 pagi.  Ya okelah.  Mau apalagi ya kan?  Sembari menunggu kakak bangun jam 3 pagi, kami ngangak-ngangak dulu di terminal.  Cari tempat enak untuk ngopi.  Dan bikin pop mie tentu saja. Makan pop mie dan ngopi dini hari seperti itu rasanya seperti sedang ikut camping.  Hanya saja kali ini campingnya pindah ke terminal.  

Jam 3 pagi baru bisa pergi ke tempat kost kakak naik Grab. Sampai di apartemennya, tanpa ba bi bu semua langsung terkapar.  Mencari posisi masing-masing.  Tidur di mana bisa tidur.  Ada yang di kasur, ada yang gelar karpet.  Tidak ada waktu lagi untuk memikirkan enak atau tidak enak.  Hotel yang dipesan baru bisa check in jam 2 siang.  Daripada nanggung, untuk sementara ya harus untel-untelan dulu di tempat kost kakak.  Besok urusan bising dan ributnya bisa dilanjutkan kalau urusan ngantuk sudah selesai. 

26 Desember 2024
Kuala Lumpur

Urusan bising semalam yang sempat tertunda karena kelelahan akhirnya dilanjutkan esok paginya.  Ada yang sibuk bagi-bagi baju, ada yang eyel-eyelan antara harus mandi dan tidak mandi.  Semua masih males-malesan walau hanya sekedar keluar untuk cari sarapan.  Akhirnya pesan Grabfood.  Makan di kamar.  Karena kakak liburnya hanya di tanggal 26 dan 27 maka kami fokuskan untuk kumpul-kumpul keluarga saja hari itu.  Leyeh-leyeh, makan, bergunjing, saling olok, ketawa-ketawa, foto-foto.  Tanggal 27 besoknya kakak ada acara Christmas di kantornya, sementara kami berempat berencana untuk melanjutkan perjalanan ke Penang.  Jadi kalau dilihat-lihat waktu untuk berkumpul  full ya hanya di tanggal 26 itu saja.

Siang hari sampai sore acara dilanjutkan ke KL Sentral.  Jalan ke Twin Tower, Bukit Bintang, Sungai Wang, dan lain-lain.  Tidak banyak yang ingin dilihat karena memang hampir semua tempat sudah pernah dikunjungi.  Lagipula si Bungsu agak rewel kalau harus  banyak jalan kaki meskipun tujuannya untuk senang-senang.  Jadi kegiatan hari itu sekali lagi hanya jalan dan makan-makan.  Kalau senang jalan, kalau capek duduk-duduk doang.  Untungnya di Kuala Lumpur itu segala macam jenis transportasi umum ada.  Tidak perlu takut tersesat seandainya harus pergi sendiri dan tidak perlu takut tidak ada kendaraan yang lewat.

Malamnya kembali ke tempat kost kakak.  Ambil semua tas untuk check in di hotel.  Meskipun jarak hotel dengan tempat tinggal kakak dekat tetap harus naik Grab karena  tentengan kami banyak.  Kalau harus jalan kaki ya No Way lah ya.  Check in, terus cari makan malam.  Di sekitar hotel banyak tempat makan enak.  Ada yang di tenda-tenda, ada yang di warung-warung.  Dari sekian banyak menu yang dipesan, rasanya tidak ada yang tidak enak.  Semua enak.  Harga standar, tapi kualitas oke punya.  Pokoknya enak-enaklah ๐Ÿ˜‹

Tengah malam kakak pamit mau pulang balik ke apartemennya.  Ada kawannya yang sepulang kerja mau nyamperin karena tempat tinggalnya sama.  Cipika cipiki, wejangan-wejangan, nasihat, semua keluar dari mulut emak bapaknya.  Intinya semoga si Sulung sehat-sehat saja tinggal di perantauan.   Bisa jaga diri dengan baik dan bisa semakin dewasa dalam hal apapun yang dilakukannya.  

Kakak pulang kami pun siap-siap.  Harus tidur cepat dan membereskan segala macam printilan yang akan dibawa.  Besok harus check out pagi-pagi karena akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Penang.  Naik bis KKKL Express dari TBS jam 9 pagi.  Jadi paling tidak jam 8 pagi sudah harus berangkat ke terminal.   

Besok-besok  ceritanya dilanjutkan ke Part 2 ya.  Sekarang mau Netflikan dulu karena ternyata lama tidak menulis membuat jemariku terasa ngilu-ngilu.  Cepat pegal.  Nggak tahu karena memang faktor U atau karena kebanyakan nonton drakor.  Yang  jelas cepat capek saja.  Baru nulis sebentar sudah pengin makan.  Kalau tidak pengin rebahan.  Kalau tidak ya tergoda Netflikan.  Beginilah nasib orang yang tidak dikejar-kejar oleh pekerjaan.  Suka-suka saja seperti tidak ada beban.  Padahal bebannya banyak.  Segunung.  Hanya saja bukan untuk dipublikasikan untuk umum ๐Ÿ˜

(Bersambung)